Jumat, 03 Juni 2011

Sintesis Antara Dunia Ideal Dengan Dunia Nyata dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane Oleh Tian Fatmanuraini

Pada novel belenggu, ceritanya sudah lepas dari masalah timur dan barat seperti yang terjadi dalam “Salah Asuhan”. Novel ini pun sudah tidak lagi menceritakan mengenai perkawinan adat. Tema yang terjadi merupakan konflik batin antara tokoh Dokter Sukartono, Tini, dan Yah. Dimana masing-masing dari mereka telah terbelenggu oleh masa lalunya.
Cerita ini memiliki tiga tokoh sentral, yaitu Dokter Sukartono (Tono), Sumartini (Tini), dan Siti Rohayah (Yah). Ketiganya berada dalam konflik cinta segitiga yang rumit yang dibumbui dengan masalah dan masa lalu masing-masing yang semakin mengantarkan keterpurukan keadaan.
Dokter Sukartono pertama-tama digambarkan sebagai tokoh yang sangat ideal. Ia digambarkan sebagai seorang dokter yang bijaksana dan  mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi. Dia terkenal  sebagai dokter yang dermawan dan penolong karena tak pernah meminta bayaran apabila mengetahui pasiennya adalah orang tidak mampu. Namun, kesempurnaan itu pun tidak semata-mata dibiarkan begitu saja oleh pengarang. Karena pengarang menggambarkan sosok dokter yang sempurna itu dengan sikap yang tidak pantas, yaitu berselingkuh dengan wanita lain. Hal itu terlihat pada kutipan “Sehabis payah praktik, kartono biasalah pergi kerumahnya yang kedua akan melepaskan lelah”, dan “Cuma satu saja yang ia tahu benar; di rumah Yah, melihat Yah, hatinya tenang, merasa puas.” Tono mula-mula digambarkan memiliki hidup yang sempurna karena berprofesi sebagai dokter yang merupakan profesi yang sangat mulia di masanyya, memiliki istri yang cantik dan berjiwa emansipasi sehingga mereka dinobatkan sebagai pasangan suami istri yang sangat serasi. Namun, pada kenyataannya, Tini tidak pernah benar-benar merasakan cinta dari suaminya, begitu pula Tono tidak merasakan cinta dari istrinya selayaknya sebuah keluarga yang harmonis. Kenikmatan hidup yang bersifat privasi pun justru dirasakan Tono dari wanita lain yang bukan istrinya. 
Tini pertama-tama digambarkan tokoh ideal sebagai seorang perempuan yang modern, pintar, dan sangat berjiwa emansipasi. Kesempurnaan itupun sangat terlihat ketika Tini menikah dengan Tono yang merupakan seorang dokter yang dianggap sebagai profesi yang sempurna pada masa itu. Namun kesempurnaan itu dihinggapi dengan sisi keburukan Tini yang melupakan tugasnya sebagai seorang istri karena ia terlalu menginginkan adanya pesamaan hak antara pria dan wanita, antara ia dengan suaminya sendiri. Selain itu, selalu merasa kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri.
Tokoh Yah yang digambarkan sebagai tokoh yang begitu santun dan penyayang. Namun, ia adalah seorang perempuan  yang masa lalunya kelam akibat perceraian. Rohayah menjadi perempuan malam dan mempunyai pekerjaan sampingan sebagai penyanyi keroncong dengan nama Siti Hayati.
Dalam novel “Belenggu” bisa dilihat bahwa hubungan antara Tono dan Tini bukanlah selayaknya pasangan suami istri pada umumnya. Terkesan hanya menjalani sebuah hidup dengan sikapnya yang sangat mengutamakan nama baiknya dan status sosial semata, sementara masalah hati tidak diabaikan dalam bahtera rumah tangga mereka. Sehingga Tono pun lari dalam pelukan Rohayah.
Ketiga tokoh utama dalam novel “Belenggu” ini pada mulanya terlalu dilebih-lebihkan dengan tokoh Tono yang berprofesi sebagai dokter, Tokoh Tini sebagai pergerakan sosial, dan tokoh Yah sebagai perempuan yang santun. Sisi keburuknnya pun seakan-akan tidak dianggap sebagai sisi yang salah sehingga sisi ideal yang pertama-tama dimunculkan dapat bercampur dengan sangat halus dengan beberapa sisi keburukan pada tokoh seperti lukisan kehidupan sehari-hari yang memang sudah sering terjadi.
Dengan penyintesisan antara dunia ideal dengan gambaran kenyataan, Armijn Pane mencoba menggambarkan dua sisi, yaitu sisi terang dan sisi gelap yang sangat terpadu dengan begitu halusnya sehinga pembaca tidak terprangkap dengan dunia imajinasi yang selalu menggambarkan kesempurnaan tokohnya agar pembaca tidak terperangkap pada terbangunnya suatu konsep yang semata-mata menerang-nerangkan sisi keburukan keadaan seseorang, tetapi juga berusaha agar pembaca tidak terperangkap ke dalam dunia ideal semata-mata seperti yang terdapat pada novel “Ayat-ayat cinta” sehingga sepertinya tidak ada celah untuk orang yang memiliki ketidaksempurnaan untuk ikut berperan di dalam ceritanya. Lain dari itu, disini Armijn Pane bersikap adil dengan tidak memilih atau menonjolkan sisi yang baik-baiknya saja, tapi ia pun tidak memperlihatkan bahwa ia membenci sisi-sisi kejelekannya. Apabila pembaca merasa bahwa yang tergambar dalam novel belenggu sangat mengejutkan karena timbulnya pikiran-pikiran “kog ada ya doker seperti itu, istri dokter sebagai pergerakan emansipasi seperti itu, dan seorang perempuan santun seperti itu” kata-kata seperti itu yang menyalahkan perbuatan seseorang hendaknya dapat membuat pembaca untuk mengenali dirinya sendiri, mengoreksi diri, dan memperbaiki diri pula karena sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah ada yang sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar