Minggu, 12 Juni 2011

Pendekatan Konteks Wacana Oleh Tian Fatmanuraini

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks. Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, dan tuturan yang mengacu pada makna yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Pemahaman terhadap wacana akan memudahkan kita memahami bahasa secara lebih luas tidak saja dari struktur formal bahasa tetapi juga dari aspek di luar bahasa (konteks).
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkaitan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana merupakan sesuatu yang menjadi bagian wacana, tetapi tidak nampak secara eksplisit. Kehadiran unsur eksternal berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks. Oleh karena kami mengkaji “Pendekatan Konteks Wacana.” Makalah ini menjelaskan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan konteks wacana.
  1. Pendekatan Konteks Wacana
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti: novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah (KBBI: 2007:1265). Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna (KBBI: 2007:591). Oleh karena itu, wacana merupakan wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa selalu mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan dan memahami konteks terjadinya wacana.
Konteks mengacu pada interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar atau pembaca. Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi perbedaan pemahaman antara penutur dan pendengar maupun penulis dan pembaca. Hal itu terjadi karena apa yang disampaikan oleh penutur sering memiliki maksud yang lebih dari sekedar makna kata-kata itu sendiri. Hal itu terlihat dalam percakapan berikut ini.
(Latar               : Di dalam ruang tertutup tak ber-AC)
Tamu                : Di sini panas juga ya?
Tuan Rumah     : Oh iya, pak, memang biasanya seperti ini kalau siang hari.
Jawaban tuan rumah menunjukan bahwa tuan rumah tidak memahami maksud pertanyaan tamu. Dalam hal ini, Pendekatan konteks terhadap wacana diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh.
Terikat pada konteks mendapat penekanan untuk membedakan wacana sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan pemakaian bahasa bukan untuk tujuan komunikasi. Contohnya kalimat Hematlah air! akan membangun sebuah wacana apabila digunakan dengan konteks yang tepat. Konteks tertentu itu berkenaan dengan pengguna (Penulis), pembaca, tempat, dan waktu. Wacana yang padu terbangun apabila kalimat tersebut dituliskan oleh seorang pemilik rumah di selembar kertas, misalnya yang kemudian digantungkan atau direkatkan di dekat keran air di kamar mandi atau tempat cuci tangan. Tidak hanya itu, lembaran kertas bertuliskan kalimat tersebut harus diperlihatkan setiap hari di tempat tersebut agar terbaca oleh pengguna air.
  1. Unsur-unsur Konteks Wacana
Menurut Anton M. Moeliono dan Samsuri, konteks terdiri atas beberapa hal, antara lain: situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam hal ini, Dell Hymes merumuskan dengan baik melalui akronim SPEAKING yang tiap-tiap fonemnya mewakili faktor penentu yang dimaksudkan. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
a.      Latar (Seting and Scene). Setting lebih bersifat fisik yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya percakapan. Sedangkan scene merupakan latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan. Hal tersebut terlihat pada wacana berikut ini: Waktu pukul tujuh malam, desa Sukatani sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah dan meregangkan otot di tempat tidur. Aku terbangun pukul tiga pagi. Tidak dikira, ternyata di jalan sudah banyak orang yang berlalu lalang;
b.      Peserta (Participants). Peserta yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik secara langsung maupun tidak langsung;
c.       Hasil (Ends). Hasil mengacu pada tujuan akhir dan tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur;
d.      Amanat (Act Sequence). Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat;
e.       Cara (Key). Cara mengacu pada pelaksanaan percakapan, misalnya dengan cara bersemangat, santai, maupun tenang  yang meliputi nada dan sikap;
f.        Sarana (Instrumentalitis). Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat mengacu pada pemakaian bahasa, apakah secara lisan atau tertulis;
g.       Norma (Norm). Norma mengacu pada aturan-aturan perilaku peserta percakapan, misalnya diskusi yang cenderung bersifat dua arah, sedangkan pidato cenderung satu arah. Aturan yang membatasi percakapan, seperti bagaimana cara membicarakannya;
h.       Jenis (Genre). Jenis mengacu pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya wacana koran dan wacana puisi.
Imam Syafei menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan saksama, konteks terjadinya suatu percakapan terdiri dari empat macam, yaitu.
  1. Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan;
  2. Konteks epistemis, yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan;
  3. Konteks fisik, yaitu tempat terjadinya percakapan dan objek yang disajikan dalam percakapan;
  4. Konteks sosial, yaitu relasi sosial yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam suatu percakapan.
Di samping unsur-unsur konteks di atas, ada unsur lain yang berupa unsur wacana seperti “dunia fiktif” dalam cerita fiksi. Agaknya dapat dipahami jika seorang anak yang berumur tiga tahun mengatakan kalimat Aku bisa melompati pagar itu maka pendengarnya akan merasa kagum, sedangkan jika yang berkata itu seorang pemuda yang berumur dua puluh tahun, tanggapan pendengarnya tentu akan berlainan.
Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat diperinci untuk memberi tanda keterangan bagi kepentingan dan hubungan dengan pembicara yang memperkenalkannya pada percakapan tersebut. Rincian tersebut antara lain:
  1. Perinci fisik, yang dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, dan binatang secara fisik. Contoh: gadis yang berambut panjang itu telah menawan hatinya;
  2. Perinci emosi, yaitu makna feeling di dalam semantik yang berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan. Contoh: gadis cantik yang mungil itu duduk bersimpuh di atas permadani;
  3. Perinci tindakan, hal ini mengacu pada ragam tindakan yang dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalam di dalam konteks wacana. Contoh: anak kecil yang sedang bermain itu, kemarin jatuh dari sepeda;
  4. Perinci campuran, hal ini terjadi antara perincian emosional dan perbuatan, fisik, dan perbuatan, atau fisik dan emosional Contoh: Safira yang sedang membaca surat itu berbaju putih dengan bunga-bunga merah jambu, sungguh mencerminkan wajah yang cerah. Safira anak yng cantik dan pintar itu menjadi anak kesayangan orang tuanya.
Selain unsur yang telah disebutkan adalah perincian yang melibatkan orang dalam masyarakat karena perannya yang relevan bagi isi konteks. Perhatikanlah kemunculan seorang tokoh masyarakat pada wacana: Gubernur bank Indonesia, Adrianus Mooy mengemukakan hal itu kepada pers Indonesia di Hongkong, di sela-sela kesibukannya mengikuti Sidang tahunan Asean Development Bank (ADB) ke-25.
Unsur antarwacana atau ko-teks penting pula dalam menentukan penafsiran makna. Pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain, misalnya tulisan yang digantungkan orang di lorong akhir suatu jalan kampung bertuliskan Terima Kasih, wacana itu jelas-jelas wacana potongan yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung yang bertuliskan Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.

PENUTUP

  1. Simpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya maka kami dapat merumuskan simpulan sebagai berikut.
  1. Pada hakikatnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya penutursebagai pasangan mitra tutur. Keterpahaman terhadap tuturan antara penutur dan mitra tutur sangat tergantung pada bagaimana kedua pembicara memahami tuturan yang bersifat kontekstual
  2. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi yang dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu dialog. Pendekatan konteks terhadap wacana diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh.
  3. Uraian mengenai konteks terjadinya suatu wacana menunjukan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana.

B.     Saran

Sebagai calon pendidik anak-anak bangsa, wacana merupakan bagian yang penting dipelajari. Karena dengan mempelajarinya lebih lanjut, kita mendapatkan banyak bekal pengetahuan yang harus disiapkan pemelajar bahasa untuk mengkaji wacana dalam mengajar agar peserta didik mampu mengembangkan kemampuan bahasanya dengan baik dan benar.



PUSTAKA ACUAN

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka.
Djajasudarma T. Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.
Kushartanti dkk. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
S.S, Alek dan H.P Achmad. 2009. Linguistik Umum: Sebuah Ancangan Awal memahami Ilmu Bahasa. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar