Jumat, 03 Juni 2011

Menguak Teks Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis Oleh Tian Fatmanuraini

Teks salah asuhan yang terbaca masyarakat ternyata tidak sama benar dengan teks asli yang berada dalam naskah pengarang karena ada campur tangan redaksi Balai Pustaka yang mengubah bagian-bagian tertentu sesuai dengan pandangan penerbit (Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, 2007:105).
Menurut kriteria Balai Pustaka, Salah Asuhan menampilkan tokoh Corrie yang justru dapat menimbulkan citra buruk bangsa Belanda secara keseluruhan. Maman S. Mahayana mengatakan bahwa “Dalam naskah asli, Corrie adalah wanita royal yang disamping menjadi istri Hanafi, juga “main” dengan laki-laki lain. Hanafi tidak sanggup lagi, karena itu mereka bercerai. Corrie terjerumus dalam percabulan: Ia menjual dirinya untuk membayar utang kepada seorang Arab, dan jadi langganan kapten kapal, akhirnya jadi pelacur umum. Ia mati ditembak salah seorang kekasihnya yang cemburuan.
            Sebuah resensi Salah Asuhan (Novel Indonesia Modern, 2007: 19) menyatakan hal yang sama, bahwa naskah asli roman itu telah banyak diubah oleh Balai Pustaka sehingga terdapat berbagai unsur yang masih belum diketahui. Dari pendapat tersebut, saya memilih perumusan masalah untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dibalik teks salah asuhan sesuai dengan teks yang ada sekarang ini.
Menurut saya, unsur-unsur Balai Pustaka yang terdapat dalam roman ini jelas terasa pada antartokoh yang disajikan yang menjadi mimikri antarbangsa karena pada roman ini sudah tidak lagi membicarakan mengenai percampuran antaradat dan antarsuku, tetapi sudah jauh lebih rumit, yakni percampuran antarbangsa yang persoalannya sudah menyangkut perbedaan adat istiadat, tradisi, budaya, serta sikap hidup yang tidak mudah saja ditinggalkan.
Tokoh-tokoh yang memegang peranan penting adalah Hanafi dan Corrie. Dari keduanya sangat terlihat bahwa tokoh Hanafi (Bumi Putra) digambarkan sebagai tokoh yang angkuh dan sangat membanggakan budaya barat sehingga ia tidak mengganggap dirinya orang timur. Hal itu terlihat pada kutipan “Oh, penting sekali. Benar, jika mereka hendak makan enak, tidak ada keberatan bagiku, bila mereka setiap hari datang kemari. Hanya selagi saya dikantor saja, Bu sebab saya memang tidak dapat bergaul dengan orang-orang serupa itu. Saya di mudik, ia di hilir.” Justru Corrie yang merupakan anak dari pernikahan campur antara bangsa barat dan timur ditakdirkan sebagai bangsa barat oleh karena kulitnya yang putih tidak seperti orang bumiputra. Sejak Corrie terlahir di dunia pun ia secara tersirat telah memilih bangsa barat sebab warna kulitnya dan berkembang pada diri Corrie yang mengaku sebagai bangsa barat. Dari situ terlihat pemikiran Balai Pustaka mengenai pertentangan antara bangsa barat dan timur yang dimenangkan oleh bangsa barat.
Corrie pun digambarkan sebagai perempuan berpendidikan yang lincah. Pintar, dan mampu membawa diri ke jalan yang baik. Hal itu terlihat ketika Corrie dan Hanafi sudah bercerai dan Corrie pun tinggal bersama perempuan tua untuk mengurus rumah piatu. Namun tidak mau bergaul dengan bangsa bumi putra kecuali dengan orang-orang yang serupa tabiat seperti mamanya yang terlihat pada kutipan “bagiku bumiputra tidak patut mendapat perindahan kecuali mamaku sendiri saja” Dari hal ini terlihat bahwa balai Pustaka menggambarkan Hanafi yang benar-benar asli orang bumiputra tidak mau memilih bangsanya sampai ia pun menyumpahi dirinya yang terlahir sebagai Bumiputra, dan Corrie pun yang hanya dari pernikahan campur antarbangsa tidak mengakui sebagai anak bumiputra. Kemenangan yang dirasakan oleh Balai Pustaka pun terlihat pada tokoh Ibu Hanafi yang sebagai orang Bumiputra mempunyai kesabaran yang tak terhingga pun menaruh kepercayaan yang sungguh besar pada bangsa barat yang terlihat pada awal cerita bahwa Ibu Hanafi menumpangkan anaknya di rumah orang belanda agar anaknya menjadi orang pandai melebihi kaum keluarganya di kampung.
Sudut pandang pemikiran Balai Pustaka bahwa Rafiah adalah korban dari kungkungan adat dan kawin paksa yang terjadi pada budaya timur. Secara implisit, bangsa barat membenarkan bahwa budayanyalah yang terbaik dibandingkan dengan budaya timur.
Selain itu, Balai Pustaka menggambarkan tokoh nyonya-nyonya belanda yang membela kaum bumiputra (Rafiah) yang terdapat pada halaman 74-76 sebagai penghinaan atas bangsa timur karena nyona-nyonya itu pun memiliki watak yang lebih baik dibandingkan dengan hanafi sebagai bangsa bumiputra karena mereka tidak mendukung perlakuan Hanafi yang kejam terhadap Rafiah. Nyonya-nyonya belanda pun dapat melihat sosok Rafiah yang sangat sabar dan dipandang sebagai intan berlian yang belum digosok.
Namun, ideologi dari Balai Pustaka ternyata tidak mengalahkan kefenomenalan “Salah Asuhan” karena justru membuat semakin lebih realistis yang yang menonjolkan akibat lebih jauh dari perrtemuan budaya barat dengan bangsa bumiputra yang telah mengenal pendidikan sekolah kolonial, dan menimbulkan pemikiran bahwa kemajuan yang telah diperoleh dari dunia barat, hendaknya jangan sampai melupakan tradisi dan budaya tanah tumpah darah sendiri karena sudah selayaknya kita mempergunakan kemajuan yang dicapai di dunia barat untuk menjunjung nama baik bangsanya sendiri. Bangsa timur memang memerlukan pendidikan barat, tetapi tidak berarti bahwa semuanya harus dibaratkan. Hal itu terlihat pada kutipan Syafei pelihara baik-baik. Jangan diturutnya jejaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar