Jumat, 03 Juni 2011

Karakteristik Idrus dalam Karya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma Oleh Tian Fatmanuraini

            “Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma” merupakan karya sastra yang terbit pada tahun 1948 yang merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Idrus yang banyak berkisah tentang keadaan zaman jepang. Penderitaan dan semangat refolusi yang terungkap seperti memberi inspirasi kepada pembaca mengenai pentingnya nasionalisme. Kumpulan cerpen ini disebut sebagai lambang belanda sehingga karya ini ditolak oleh Keimin Bunka Shidoso yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kantor pusat kebudayaan yang merupakan lembaga atau organisasi bentukan pemerintahn pendudukan jepang yang bertugas memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan perang asia timur raya yang dikobarkan jepang  karena keimin Bunka Shidoso ingin menghapus segala sistem yang berbau belanda (Pengantar Sejarah sastra Indonesia, 2007: 89).
Membaca karya sastra utamanya seperti membaca kondisi masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya sastra sehingga menyimpan pemikiran pengarangnya. Dari karyanya, Idrus mula-mula terlihat bahwa ia selalu menganggap hal lain itu buruk. Hal itu terlihat ketika ia tidak peduli dengan gegap gempita refolusi pasca kemerdekaan yang terlihat pada kutipan “Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya di luar dugaannya dan mimpinya. Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar.”
Idrus yang merupakan pendiri pembaharu Prosa dalam angkatan 1945 selalu berpegang pada “Terus terang” sehingga terkesan lugas, sadis, apa adanya, dan bahasanya tidak mendayu-dayu atau berandai-andai yang terlihat pada gayanya dalam kumpulan cerpen “Dari ave maria ke jalan lain ke Roma” walaupun Idrus pernah mengalami romantiknya. Namun, karena bosan dengan romantiknya, ia dengan sengaja mencari jalan lain dan tiba kepada karakteristik utamanya ke dalam kesederhanaan yang baru dan terlepas pada keromantikannya.
            Idrus yang merupakan angkatan 1945 tidak merasa kebulatan pada dirinya sebagai angkatan 1945. Hal itu terlihat pada “Ave Maria” yang memperlihatkan gaya romantiknya. Hal itu terlihat pada kutipan “Malam bulan purnama raya. Kami duduk di beranda depan. Ayah dan Ibu bercakap sebentar-sebentar, tetapi percakapan itu sudah lama rupanya.” Pada “Ave Maria” sisi keromantikan sangat terlihat ketika awal ceritanya langsung dibuka dengan lukisan keindahan alam.
            “Corat-Coret Bawah Tanah” mengusung gaya realitas idrus yang mulai meninggalkan gaya romantiknya menuju kesederhanaan. Kesederhanaan dan kejujuran bahasanya terlihat pada “Kota Harmoni” karena Idrus seperti melaporkan suatu laporan yang bersikap faktual dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, idrus menunjukan kegenitannya memainkan sebuah kata ketika ia menggambarkan keadaan yang sangat menjijikan karena diakhir paragraf ia menyelipkan sesuatu yang menjijikan dengan sebuah tomat yang memiliki skema dimata pembaca dengan sesuatu yang manis. Sehingga terlihat sangat kontras yang terlihat pada kutipan “Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing, dan ayam. Hari panas, orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat”
            Dengan sangat lugasnya, idrus pun mengkritik keadaan bangsanya yang semakin terpuruk. Ia menyelipkan makna implisit bahwa penjajahan yang dialami ketika belanda berada di Indonesia sangat menderita. Tetapi ternyata ketika jepang datang menjajah setelah belanda sudah pergi itu membuat rakyat Indonesia lebih menderita. Penduduk jepang hanya bisa menjanjikan masa depan yang gemilang bagi bangsa Indonesia. Hal itu terlihat pada kutipan “ Perempuan gemuk itu tidak mau meneruskan perkataannya. Sambil mengeluh katanya, ‘Zaman susah sekarang. Tahun dua puluh dulu susah juga, tetapi tidak sesusah sekarang.”
Pada “Jawa Baru” Idrus menggunakan bahasanya secara lugas seperti melaporkan sesuatu dengan tidak menggunakan bahasa yang mendayu-dayu. Hal itu terlihat dalam gambaran kemelaratan semasa zaman Jepang yang terdapat pada kutipan “Setiap pagi kelihatan di Noordwijk anak-anak miskin berbaris ke rumahnya dari gereja. Muka mereka itu semua pucat, badannya kurus kurang makan”
Pada “Oh..Oh..Oh” idrus menunjukan gaya realitas yang menyatakan sindiran terhadap persatuan rakyat Indonesia yang rendah. Hal itu terlihat pada kutipan “Seorang orang Indonesia yang berdiri dekat Arab itu berkata, “Aku lebih senang melihat ia mati begitu daripada melihatnya mati dipinggir kali ciliwung di Jakarta nanti.”
            Karakteristik idrus semakin kuat terlihat pada novelet “Surabaya” yang menunjukan realitas dan kelugasan yang penuh dengan sindiran yang skeptis di kala rovolusi yang sedang berkobar dengan semangat yang menyala-nyala. Disini  pengarang mengkritik berbagai kekurangan bangsanya yang mengalami uforia selepas perang. Hal itu terlihat pada kutipan “Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya di luar dugaannya dan mimpinya. Keberaniannya timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti luapan bir.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar