Jumat, 03 Juni 2011

Analisis Puisi "Hanyut Aku" Karya Amir Hamzah Oleh Tian Fatmanuraini

BAB I
LATAR BELAKANG

          Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang (Selden, 1985:2). Ada bermacam-macam pendapat terhadap siapa sebenarnya seorang pengarang itu. Kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pembicaraan. Oleh karena itu, apabila kita ingin memahami karya sastra, pemahaman kita akan semakin baik bila disertai dengan pemahaman terhadap diri sastrawan. Bila kita telah mengenal sastrawan, kita juga bisa memahami lebih baik karya sastranya.
            Kehidupan dan kepribadian sastrawan bisa kita pahami melalui biografi sastrawan, biografi sastrawan dikatakan bernilai apabila biografi tersebut berisi hal-hal yang berkaitan dengan penciptaaaan karya sastra. Biografi dapat berisi uraian tentang kehidupan sastrawan, perkembangan moral, mental, intelektual, psikologi sastrawan dan proses kreatifnya (Wellek dan Warren, 1976) karena apa yang ada di dalam karya sastra merupakan cermin dari kehidupan sastrawan. Biografi juga dapat menjelaskan tradisi yang berlaku di daerah sastrawan, pengaruh yang didapatkannya, dan bahan-bahan yang dipakainya dalam karya sastra. Selain itu, sastrawan juga dapat dipengaruhi oleh latar belakangan psikologisnya dan sebagai makhluk sosial, dipengaruhi oleh latar belakang sosiologisnya karena karya sastra dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh akal dan jiwanya.
            Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dalam makalah ini, saya akan membahas puisi Amir Hamzah yang berjudul “Hanyut Aku” yang memakai pendekatan ekspresif dimana karya sastra dihubungkan dengan pengarang karena pengetahuan tentang pengarang karya tersebut akan sangat membantu dalam menganalisis puisinya.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Puisi Hanyut Aku
Hanyut Aku
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
            tiada air menolak ngelak
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
            Sebabkan diammu
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, kekasihku, mati aku!

B.     Landasan Teori
Menurut Dr. Wahyudi Siswanto, dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Teori Sastra” terdapat lima pendekatan dalam memahami karya sastra yang bertujuan untuk mengetahui karya sastra dalam berbagai aspek, yaitu: pendekatan ekspresif, objektif, mimetik, pragmatik, dan interdisipliner sastra. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981:189). Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra (Junus, 1985:2). Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Selain itu, ada pendekatan sastra yang merupakan interdisipliner dari ilmu sastra dengan ilmu yang lain.
Dalam menganalisis puisi “Hanyut Aku” saya menggunakan pendekatan ekspresif, di mana perhatian terhadap sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan sehingga karya sastra dianggap sebagai anak kehidupan kreatif seorang penulis dan dapat mengungkapkan pribadi pengarangnya.[1]
C.    Analisis Tema Puisi “Hanyut Aku”
Karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya. Oleh karena itu, dalam menganalisis puisi “Hanyut Aku” tidak bisa meninggalkan kehidupan Beliau (Amir Hamzah) sebagai pengarangnya. Dalam sajak tersebut, beliau menuliskan kata-kata dengan sangat jelas sebagai buah pikiran seseorang yang langsung menuju kehendak yang dituju dan bukan berbelit-belit seperti biasanya di dalam bahasa melayu lama.[2] Beliau sangat tulus mengungkapkan kekalahannya dan mencoba memberi tahu bahwa beliau sangat menderita dan berteriak meminta pertolongan supaya kekasihnya (Ilik Sundari) membantu melepaskannya dari keadaan yang sangat menyedihkan di mana beliau yang pada akhirnya menikah dengan perempuan yang bukan pilihan hatinya, hal itu terjadi karena beliau sangatlah berhutang budi kepada sultan langkat yang rupanya dari semula sultan langkat mencalonkan beliau bukan hanya sebagai pegawai dalam lingkungan kerajaan langkat, tetapi juga menjadi menantunya. Beliau tak dapat melupakan bahwa pamannyalah yang menyekolahkannya sehingga beliau merasa terombang-ambing oleh kebebasan yang dirasakannya sebagai pemuda yang duduk di bangku sekolah dan diresapi oleh bermacam-macam ikatan yang mengikatnya, yaitu ikatan budi kepada sultan langkat, ikatan politik kepada pemerintah belanda yang menguasai sultan langkat.
Dalam kebebasannya sebagai pelajar AMS di Solo beliau jatuh cinta kepada seorang gadis jawa yang bernama Ilik Sundari. Waktu itu, beliau merasa bebas dan dapat melupakan rasa keterikatannya kepada kerajaan langkat karena faktor jarak jauh antara Sumatera Timur dan Jawa Tengah, tetapi Beliau bukanlah orang yang mudah saja melupakan budi baik seseorang sehingga berat dugaan bahwa beliau sendiri mengetahui akan keinginan sultan langkat untuk menjadikannya menantu sehingga cinta beliau kepada Ilik Sundari dengan sendirinya bertentangan dengan keterikatannya oleh balas budi dan suasana kebangsawanan sultan langkat. Dari situlah letak perjuangan yang menjadi awal kepedihan beliau yang selalu dibayang-bayangi oleh ikatan budi yang amat berat.
Pada tahun 1937, Beliau menerima surat dari Sumatra Timur agar segera pulang. Di sana beliau dinikahkan dengan seorang wanita dari kalangan bangsawan Sumatra Timur, Tengku kamalia putri dari paman sultan langkat (Sultan Mahmud). Rupanya permintaan itu lebih merupakan sebuah titah seorang raja dan ini titah seorang raja yang adalah juga paman beliau. Dan hal itu tidak bisa ditolak. Pamannya meminta sikap tunduk. Maka, resepsi pernikahan pun digelar pada Januari 1938 selama tujuh hari tujuh malam.[3] Namun sebenarnya dari pernikahan tersebut, betapa hancur hati beliau. Biarpun Kamalia berada di sampingnya namun kenangan kepada Ilik Sundari tak kan pernah sirna dari kalbunya.[4] Emosi pergolakan batin penyair ini terus meninggi bahkan kian kompleks. Hubungan asmara Beliau dengan Ilik Sundari yang kandas setelah sang penyair menikah dengan Tengku Puteri Kamaliah seperti puncak gunung es dari ketegangan-ketegangan besar yang tidak saja dihadapi penyair sendiri, melainkan juga dihadapi bangsanya yaitu ketegangan antara tradisi dan modernisasi, Timur dan Barat, adat dan kebebasan individu, feodalisme dan demokrasi, masa lampau dan masa depan. Kasus cinta Beliau dan Ilik Sundari adalah bukti betapa tidak mudah mendamaikan ketegangan-ketegangan besar yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara baru. Beliau dalam sejarah  hidupnya, perkawinanya dengan puteri sultan langkat merupakan puncak krisis kesedihannya dan beliau pun berteriak minta pertolongan pada kekasihnya (Ilik sundari) untuk menghentikan kesedihannya.
Pada “Sunyinya sekelilingku” tergambarlah kepedihan dan penderitaan beliau selama beliau mengunci dirinya sebulan sesudah pernikahannya di Tanjung Pura. Lihatlah bagaimana beliau merasa begitu menderita, keterpencilan dan sangat putus asa. Keputusasaan itu pun tercermin ketika beliau seolah-olah mengancam sanggup ditelan oleh batu belah batu bertangkup. Batu belah batu bertangkup ialah sebuah cerita tua yang terkenal di beberapa daerah di Sumatera yang diceritakan ibu-ibu kepada anaknya yang nakal untuk menakuti supaya tidak meminta yang berlebihan sehingga tak dapat dipenuhi oleh orang tuanya dan si anak diancam: Nanti ibu akan membunuh diri terjun ke dalam batu belah batu bertangkup.
Terbuka pula, merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap
Dan berkata ia:
            Batu belah, batu bertangkup
            Batu tepian tempat mandi
            Insya Allah tiadaku takut
            Sudah demikian kuperbuat janji
Cinta yang tak sampai itulah yang mengilhami puisi “Hanyut Aku”. Dalam hal ini, “Kekasihku” merujuk kepada kekasihnya di dunia, banyak sedikitnya “Rindu dan kesunyian” beliau secara psikologis dikaitkan dengan perkembangan hubungan dengan Ilik sundari dan  sehingga “Mati” memiliki makna bahwa beliau mengobati rasa keputusasaannya dengan cara sembahyang untuk memohon agar beliau dan Ilik sundari dipersatukan kembali sehingga terobatilah luka hati beliau dan beliau tidak mengikuti adat bahwa ia harus menuruti kemauan orang besar yang menghalangi cita-citanya. Hal ini pun tercermin dalam sajak “Memuji Dikau” dimana beliau melukiskan kekhusyukan sembahyang dengan caranya sendiri.
Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.[5]
Namun, menurut pandangan saya sebagai pembaca, kekasih yang dimaksud beliau di dalam puisi “Hanyut aku”, tidak hanya sebatas kekasih yang ada di dunia (Ilik Sundari). Akan tetapi kekasih yang dimaksud beliau juga merujuk kepada Tuhan. Menyebut Tuhan dengan nama kekasih tentu saja merupakan manifestasi dari rasa cinta kepada Tuhan dan merupakan kewajiban bagi manusia, khususnya bagi kaum muslimin.[6] Ketika beliau menyerah dan benar-benar berada dalam keputusasaan karena Amir Hamzah menghianati cita dan cintanya yang dipilihnya sendiri dengan kemauan sendiri sebagai manusia yang bebas, jelas sekali satu-satunya pertolongan yang paling sempurna adalah pertolongan Tuhan sehingga jelas makna “Kekasihku tidak hanya ke manusia sehingga beliau berfikir apabila kita mencintai Tuhan, tentu saja kitapun akan menjadi rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan salah satu tanda cinta kepada Tuhan adalah tidak membenci pikiran tentang mati karena suatu kehendak untuk berjumpa dengan tuhan adalah maut sebab mautlah yang merupakan salah satu jalan untuk berjumpa dengan Tuhan.[7]
         Rasa hampa hidup karena kehilangan Ilik Sundari dan tidak dapat mewujudkan cita-citanya seolah-olah membuatnya kehilangan gairah hidupnya sendiri sehingga beliau berusaha mencari nilai dan bentuk percintaan yang kekal dalam percobaan-percobaannya berdialog tetapi gagal menyatukan diri dengan Tuhan.[8] Walaupun obsesi-obsesi dasar beliau bersifat modern. Namun, ia tetap sebagai manusia yang gelisah meskipun berada di tengah lingkungan yang harmonis seperti di masa mudanya. Hal itu terlihat pada kutipan sajak “Berdiri Aku” berikut:
            Dalam rupa mahasempurna
            Rindu sendu mengharu kalbu
            Ingin datang merasa sentosa
            Menyecap hidup bertentu tuju
Namun dalam kekalahaannya menyerah kepada kekuasaan yang lama, menghianati cinta yang dipilihnya sendiri jelas diucapkan keinginannya akan mati sehingga dapat bertemu dengan kekasihnya (Tuhan) yang Agung karena setelah habis cinta dunianya, tak lain baginya adalah pulang kepada Tuhan dan satu-satunya cara untuk bertemu dengan Tuhan adalah manusia mesti mati dahulu. Hal itu juga dapat tercermin dalam sajak “Padamu Jua”  berikut:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Namun pada “Mati hari bukan kawanku” seolah-olah beliau tersadar kembali.
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
            Kasihmu sunyi,
            Menunggu seorang diri
            Lalu waktu bukan giliranku
            Mati hari bukan kawanku
          Pada beberapa tempat yang lain dinyatakan hasratnya pada Tuhan, satu-satunya yang dapat menghibur kekalahannya dan meredakan hatinya yang pilu karena beliau meninggalkan kekasihnya yang dipilihnya dan menghianati cita-citanya dinyatakan bahwa hanya satu yang berarti baginya yaitu berada dekat Tuhan dengan mengatasi segala perbedaan anggapan dan perselisihan manusia. Kesadaran spiritual penyair sedemikian bulat. Penyair kini bahkan dimabuk oleh rindu dan cinta ilahi. Tuhan adalah Kekasih yang menjadi pusat seluruh orientasi kesadaran mistikal penyair.[9] Tuhan adalah Pesona Maha Agung yang menyedot seluruh perhatian dan kesadaran penyair. Berkatalah penyair dengan penuh keyakinan dalam sajak hanya satu berikut ini:
            Aduh kekasihku
            Padaku semua tiada berguna
            Hanya satu kutunggu hasrat
            Merasa engkau dekat rapat
            Serupa musa di puncak tursina
Pada Puisi “Hanyut Aku” Pengembaraan spiritual itu akhirnya mencapai puncak ekstase mistis. Hasrat kuat untuk berjumpa Tuhan, rindu ilahi yang tulus dan sungguh-sungguh, rupanya memberikan pencerahan spiritual luar biasa. Esktase mistis adalah puncak dari seluruh pengalaman dan guncangan spiritual serta pengembaraan mistikal yang sempat remuk-redam. Gambaran tentang puncak ekstase mistis yang dicapai Amir Hamzah agak beragam. Setiap pengalaman spiritual, apalagi ekstase mistis, pastilah berbeda-beda baik nuansa maupun intensitasnya. Ada kalanya ekstase mistis itu sedemikian menghanyutkan dalam riuh rohani yang seakan mematikan.[10]

D.    Analisis Bentuk Puisi “Hanyut Aku”
Sajaknya bukan merupakan sajak bait, melainkan sajak bebas. Hal itu terlihat pada larik ke larik berikutnya yang tidak terikat pada pola, dan dari persajakan pada akhir kalimat atau ayat beliau menumbuhkan persamaan bunyi yang lebih kaya dan merdu dalam kata-kata dan dalam satu baris, yaitu “Tenggelam dalam Malam.” Uniknya, beliau memberikan penegasan arti dengan cara inversi, antara lain “Hanyut Aku” dan “Mati Aku” dan hal itu dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kunci dalam sajak tersebut.
Terdapat asonansi, yaitu bunyi vokal yang diulang secara berurutan[11], di antaranya Hanyut aku, kekasihku!, Hanyut aku!. Dan Terdapat larik sambung, yaitu larik sajak yang secara sintaksis langsung bersambung dengan larik berikutnya[12] dan hal itu terlihat pada “Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku/Sebabkan diammu.”
Kecondongan romantisme tampak lebih kuat. Hal itu dapat kita temukan dari sejumlah ungkapan yang penuh dengan idealisme, pengagungan terhadap alam dan kebesaran Tuhan. Hal itu terlihat pada “Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas.”

E.     Analisis Puisi “Hanyut Aku” Dikaitkan dengan Ciri Khas Pengarang
Suasana lingkungan kehidupan di dalam keluarganya yang setiap hari bernafaskan islam telah membentuk jiwa beliau menjadi perasa dan halus sehingga dalam berbagai situasi perasaan dekatnya kepada Tuhan selalu muncul di dalam syair-syairnya.[13] Pada puisi “Hanyut Aku” beliau juga menggunakan perbandingan kata “Kekasihku” yang diartikan sebagai Tuhan meskipun apabila dilihat dalam perjalanan cintanya maka “Kekasih” pada puisi “Hanyut Aku” bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kekasihnya di dunia.
Beliau mengangkat bahasa melayu dalam bahasa puisi modern[14] sehingga banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa sanksekerta dan Jawa Kuno sehingga beliau disebut sebagai seorang timur. Pada puisi “Hanyut Aku” terdapat kata “Ngelak” yang berasal dari bahasa jawa yang berarti dahaga atau haus.
Ciri khas puisi beliau adalah kata “Mu” dan “Kau” selalu ditulis dengan huruf kecil sehingga Chairil Anwar menyebut puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap karena sangat sulit menafsirkan puisi Amir Hamzah.[15] Hal itu pun terlihat dalam puisi “Hanyut Aku” sehingga dalam makalah ini saya artikan bahwa kekasihku tersebut merujuk pada Tuhan dan bisa pula merujuk pada kekasihnya (Ilik Sundari). Walaupun hatinya terus mengejar karena kekalahannya dan penghianatan akan cita-citanya, dalam hubungan ini sajak “Hanyut Aku” dapat dikatakan sebagai sajak jeritan katahati atau hati nurani manusia yang sadar sedalam-dalamnya akan kesalahannya karena beliau merasa berkhianat kepada cinta dan cita-citanya. Namun, keistimewaan beliau adalah bahwa deraan katahatinya yang merasa kalah dan bersalah itu dapat diatasinya dengan kembali kepada Tuhan untuk menyerahkan segalanya dan dalam kutipan sajak hanyut aku “Ulurkan tanganmu, tolong aku” kita dengar bagaimana beliau berteriak meminta pertolongan sebagai orang yang hilang pikirannya tetapi beliau dapat meredakan deraan, siksaan, dan katahatinya yang merasa bersalah.
         Amir hamzah tak kurang “Binatang jalang”nya dari Chairil Anwar.[16] Beliau tak mau sekedar menuruti dan menginginkan semacam garis lurus yang bisa dipegang dalam hidupnya. Pada puisi “Hanyut Aku” kenikmatan yang ditimbulkan bukanlah kenikmatan dari kekhusyukan ibadat, akan tetapi kejujuran seorang manusia yang gelisah sebagai manusia, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap Tuhan. Salah satu ciri yang menonjol dari beliau adalah kuatnya pengaruh dari pujangga sufi, di mana agama dan sejarah sangat mempengaruhinya sehingga dapat membangun kesan dalam puisi-puisinya terdapat sesuatu yang mistik, yaitu hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Namun, kelebihan dari beliau bahwa metafora yang beliau gunakan sangat hidup sehingga sulit diartikan apakah menuju pada Tuhan ataukah pada manusia. Hal itu pulalah yang menyebutkan bahwa beliau bukanlah penganut sastra sufi walaupun puisinya mengandung unsur sufistik.


[1] Dr. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT Grasindo, tahun 2008), Cetakan Pertama, hal. 181.
[2] S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:Dian Rakyat, tahun 1985).
[3] S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:Dian Rakyat, tahun 1985) dan http://jamaldrahman.wordpress.com/2011/01/08/amir-hamzah-penyair-yang-kalah-tapi-menang/
[4] PDS H.B. Jassin, Tokoh dan Peristiwa Amir Hamzah  (Minggu 26 Februari 1989 hal. 4 kol. 3-9).
[5] S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:Dian Rakyat, tahun 1985).
[6] Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, kekasih bagi Amir Hamzah.
[7] Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, kekasih bagi Amir Hamzah.
[8] Abrar Yusra, Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair, (Jakarta:Dokumen H.B. jassin).
[9] S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:Dian Rakyat, tahun 1985).
[11] Abdul Rojak Zaidan, dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta:Balai Pustaka, 2007).
[12] Abdul Rojak Zaidan, dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta:Balai Pustaka, 2007).
[13] PDS H.B. Jassin, Tokoh dan Peristiwa Amir Hamzah (Minggu 26 Februari 1989 hal. 4 kol. 3-9).
[14] PDS H.B. Jassin “Pikiran Rakyat” tahun ke XVII no. 32. (Selasa, 22 Februari 1983 hal. 7).
[15] PDS H.B. Jassin “Pikiran Rakyat” tahun ke XVII no. 32. (Selasa, 22 Februari 1983 hal. 7).
[16] Abrar Yusra, Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair, (Jakarta:Dokumen H.B. jassin).


BAB III
PENUTUP

Simpulan
       Puisi “Hanyut Aku” merupakan puisi jeritan minta tolong dari Amir Hamzah supaya orang lain membantu melepaskannya dari keadaannya yang amat menyedihkan. Namun nyatanya, tak ada orang yang kasihan. Puisi tersebut lebih sublime karena lebih melukiskan pergulatan bathin sehingga menjadi kehidupan yang sunyi. Beliau melukiskan pengertian sunyi itu duka, kudus, lupa, dan lampus. Menariknya, beliau menggunakan majas metafora yang sangat hidup. Sehingga maknanya dimaknakan sedemikian beragam oleh pembaca karena tergantung pada penafsiran pembaca dan pengarangnya. Selain itu, dalam puisi tersebut mampu menguak peristiwa yang cukup penting dalam hidupnya, yaitu pernikahan. Ia menikah dengan putri sultannya, tengku Putri Kamaliah dan merupakan suatu hal yang bertentangan dengan rasa hatinya terhadap rasa kasihnya yang mendalam kepada gadis yang dikenalnya di jawa (Ilik Sundari) dan Puisi “Hanyut Aku” dapat dijadikan suatu saksi pergolakan bathinnya dan menjadi karakteristik dari karyanya sendiri sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk studi sastra.
Amir Hamzah: Penyair yang Kalah, tapi Menang. Saya sangat setuju dengan Kalimat tersebut yang terlihat sebagai judul dalam artikel Bapak Djamal D. Rahman selaku dosen terbaik saya karena Betapapun tragis kehidupan Amir hamzah yang didera kekalahan cita dan cintanya yang dipilihnya sendiri atas kemauannya sendiri, namun hal itu tiada mengurangi penghargaan pada keharuman namanya sebagai raja penyair pujangga baru, karya-karyanya yang memikat mengundang daya tarik tersendiri bagi banyak pembaca sehingga dapat menaruh rasa hormat pada kemampuan kreatif seorang pengarang setaraf Amir Hamzah dan pusi “Hanyut Aku” pun sangat kuat dijadikan saksi perjalanan hidupnya dan menjadi puisi terbaik yang selalu ada dalam kajian di sekolah maupun di universitas.

Saran

Puisi “Hanyut Aku” merupakan bagian yang sangat penting dipelajari dalam materi kajian puisi. Dengan menganalisis puisi tersebut, kita akan menguasai mengenai karya-karyanya yang lain dan latar belakangnya. Sebagai calon guru bahasa Indonesia, Agar siswa dapat memahami Puisi Amir Hamzah dengan baik, maka sebaiknya saya dapat memberikan kesempatan siswa untuk mengapresiasikan dan mengemukakan pendapatnya agar dapat terekspolasi menjadi sebuah konsep yang bukan saja dipahami namun dapat diingat sepanjang waktu.

 

 

PUSTAKA ACUAN


Alisjahbana, S. takdir. 1985 “Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi” Jakarta: Dian Rakyat.
Foulcher, Dr. Keith. 1991 “Pujangga baru: kesusatraan dan nasionalisme di Indonesia 1933-1942” Jakarta: PT Girimukti Pasaka.
Saleh, Purwanto. 1989 “Tokoh dan peristiwa: amir Hamzah (1911-1946)” Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Siswanto, Dr. Wahyudi. 2008 “Pengantar Teori Sastra” Jakarta: PT Grasindo.
Tarsyad, Taman Effendi. 1989 “Kekasih Bagi Amir Hamzah” Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Yusra, Abrar. 1996 “Amir Hamzah Sebagai Manusia dan penyair” Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Zaidan, Abdul Rojak, dkk. 2007 “Kamus Istilah Sastra” Jakarta: Balai Pustaka.

 


2 komentar:

  1. Tulisannya Goyang2....jarimu joged kali ya,,,mataku jadi kriting ni bacanya....wkwkkwkw....lanjutkan berkarya....

    BalasHapus
  2. Wahyudi : mata mu genit ci. hehehehee..... ni Juga Lg Proses Belajar nULis. hiihihihi

    BalasHapus