Minggu, 12 Juni 2011

Pembentukan Citra Nyai dalam Novel Bunga Roos dari Cikembang Oleh Tian Fatmanuraini

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastra adalah apa yang ingin diungkapkan sastrawan kepada pembacanya sehingga menitikberatkan kajiannya pada karya sastra dan menjadi sesuatu yang inti sehingga pengkajian karya sastra tidak akan ada apabila tidak ada karya sastra.
Bunga Roos dari Cikembang (BRDC) merupakan salah satu novel karya Tionghoa yang dibuat sekitar tahun 1927 oleh Kwee Tek Hoay yang menceritakan bagaimana hubungan antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang relatif bersifat heterogen yang dianggap sebagai “bacaan liar” oleh konstruksi sastra balai pustaka karena politik belanda.
Perkembangan karya sastra berjalan seiring dengan perkembangan politik dan sosial  di luar maupun di dalam negeri yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia sehingga mempunyai dampak terhadap tema yang digunakan untuk penulisan karya sastra karena keeratan hubungan antara kesusastraan dan keadaan sosial masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta sosial, karya sastra tidak hanya mencerminkan berbagai realitas sosial, baik pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat-istiadat, yang melingkupi penciptaan karya sastra, melainkan juga mencerminkan tanggapan pengarang terhadap berbagai realitas sosial tersebut seperti upaya-upaya pembauran kebudayaan melalui karya sastra.
Pembauran dalam novel “Bunga Roos Dari Cikembang” bukan hanya sebatas mengenai kawin campur antara etnis Cina dengan masyarakat Indonesia. Namun juga menggagas mengenai perbedaan jenis etnis dan kemanusiaan yang digambarkan melalui tema pernyaian dengan latar belakang masyarakat (peranakan) Cina di Indonesia (Sunda) sebagai pandangan pengarang mengenai aspek sosial yang cenderung termakan oleh stigma bahwa pernyaian merupakan sosok yang hina dimata masyarakat sehingga pengarang ingin mengubahnya menjadi sesuatu pandangan yang lebih baik.
Penggunaan bahasa Melayu rendah yang merupakan bahasa pasar pada Novel “Bunga Roos dari Cikembang” dijadikan dalih karya sastra ini tidak dianggap sebagai kesusastraan Indonesia oleh Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggi. Kebijakan politik yang dicanagkan oleh Balai Pustaka berusaha menekankan sebuah karya sastra yang layak diakui disusun dalam bahasa yang tinggi.
Walaupun Balai Pustaka mengatakan bahwa karya Kwee Tek Hoay ini adalah bacaan liar. Namun, sesungguhnya sastra Melayu-Tionghoa telah memberikan makna yang mendalam seperti yang tergambar dalam karya Kwee Tek Hoay yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah yang berjudul “Pembentukan Citra Nyai Dalam Novel Bunga Roos dari Cikembang.”

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, kami merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Jelaskan unsur instrinsik yang terdapat dalam novel “Bunga Roos dari Cikembang?”
2.      Bagaimana Pembentukan citra nyai dalam novel “Bunga Roos dari Cikembang.”

  1. Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang diharapkan adalah:
1.    Dapat mengetahui dan menjelaskan unsur instrinsik yang terdapat dalam novel “Bunga Roos dari Cikembang.”
2.    Dapat mengetahui dan menjelaskan gambaran mengenai pembentukan citra nyai dalam novel “Bunga Roos dari Cikembang.”



BAB II
PEMBAHASAN
  
2.1              Biografi Kwee Tek Hoay (KTH)
Kwee Tek HoayKTH dilahirkan di Bogor, 31 Juli 1885 dan meninggal pada tanggal 04 Juli 1952. Ia adalah seorang tokoh sastrawan Melayu Tionghoa yang sangat terkenal dan paling produktif yang memegang ajaran Tridharma, yaitu agama yang mempersatukan agama Khong Kauw (Kong Hu Cu), Hoed Kauw (Budha), dan Too Kauw (Tao) yang menjadikan suatu ajaran berdasarkan asas kebajikan yang merupakan pola ideal tertinggi bagi ummat manusia sehingga mampu mengangkat harkat masyarakat Tionghoa.
Sejak kecil ia sudah terbiasa mengenal pendidikan. Namun, hal itu tidak didapatkannya dari bangku sekolah. Tetapi ia dapatkan dari kegemarannya membaca buku di sela-sela kesibukannya membantu sang ayah berjualan tekstil. KTH pernah mendapatkan pendidikan bahasa Belanda dari seorang perempuan Belanda dan bahasa Inggris dari seorang India sehingga ia dapat membaca buku dalam dua bahasa asing tersebut.
KTH memulai kariernya sebagai seorang wartawan di berbagai surat kabar dan majalah. Pada mulanya ia menjadi anggota redaksi di surat kabar Ho Po dan  Li Po yang berkedudukan di kota kelahirannya. Setelah itu ia bekerja di surat kabar Sin Po di Jakarta. Pada tahun 1926 berbekal pengalamannya bekerja di berbagai media, KTH mendirikan majalahnya yang diberi nama “Panorama” untuk mengaspirasi pandangan politiknya. Namun, pada tahun 1931 KTH menjualnya kepada Phoa Liong Gie. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya berhenti menjadi wartawan dan ia pun kembali menerbitkan berbagai majalah, diantaranya yaitu “Mustika Panorama” yang mencangkup masalah umum, “Mustika Romans” di bidang sastra, dan menerbitkan majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama Buddha dengan nama “Moestika Dharma.”
Karya-karya KTH dapat dikategorikan ke dalam karya-karya serius pada masanya. Hal itu tercermin dalam buku “Rumah Sekolah yang Saya Impikan” yang menggambarkan sekolah ideal menurut pandangannya. Ia beranggapan bahwa pendidikan harus menitikberatkan kebudayaan leluhur dan sekolah harus memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap sehingga murid-murid dapat mempelajari buku-buku tersebut. Selain itu, ia pun menuangkan idenya mengenai pendidikan di luar sekolah, yaitu pendidikan untuk kaum perempuan karena pada masa itu, perempuan masih diperintah oleh laki-laki dan tidak mendapatkan hak yang sama, terutama dalam hal pendidikan sehingga perempuan belum memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebebas-bebasnya. Hal tersebut, ia gambarkan dalam roman “Drama di Boven Digul.”
Banyak karya sastra Melayu-Tionghoa berisi kritikan terhadap Kolonial Belanda. Atas dasar itulah Balai Pustaka mengharamkan karya-karya mereka karena dianggap berpaham kiri yang sifat dan isi karangannya banyak menghasut rakyat untuk memberontak sehingga dianggap sebagai bacaan liar dengan dalih bahwa karya sastra tionghoa menggunakan bahasa melayu pasar yang dianggap rendah, sementara karya sastra Balai Pustaka yang ditulis menggunakan bahasa melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
Sesudah perang dunia II, KTH lebih banyak menulis buku filsafat dan agama. Novel yang berjudul “Itu Nona yang Bertopeng Biru” merupakan novel terakhirnya dan dimuat secara berseri di majalah “Mustika Romans” mulai dari tahun 1940 hingga 1941. Novel tersebut bercerita tentang seseorang yang tidak mau merayakan Cap Go Meh (hari raya Tionghoa). Setelah itu, KTH lebih banyak berkutat pada keagamaan, terutama mengenai Buddha Tridarma. Seiring bertambahnya usia, KTH menyadari bahwa dirinya semakin dekat dengan kematian sehingga ia aktif dalam perkumpulan kematian “Sham San Bumi” yang bertujuan untuk menerapkan tradisi ummat Buddha di Indonesia, yaitu mengkremasi jenazah untuk menghemat tanah. Pada Tanggal 4 Juli 1952, KTH menghembuskan nafas terakhir setelah dianiaya oleh perampok yang menyatroni kediamannya sehingga KTH menjadi orang pertama yang dikremasi di krematorium hasil inisiatifnya dan abu KTH ditaburkan di Teluk Jakarta.
2.2              Sinopsis “Bunga Roos dari Cikembang”
            Cerita Bunga Roos Dari Cikembang merupakan salah satu cerita yang bertemakan pernyaian dengan latar belakang masyarakat (peranakan) Cina di Indonesia (Sunda) yang terbit pertama kali pada tahun 1927. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan seorang laki-laki bernama Tuan Ay Tjeng yang berprofesi sebagai administrator perkebunan Karet di daerah gunung Mulia[1]. Di sana ia hidup bersama dengan nyai bernama Marsiti yang mengabdikan hidupnya kepada Ay Tjeng. Marsiti adalah seorang anak yang ditinggal untuk selama-lamanya oleh ibunya saat berusia 40 hari. Tiga tahun mereka hidup bersama dan ternyata Ay Tjeng sangat mencintai Marsiti. Meskipun Marsiti mengetahui bahwa Ay Tjeng sangat mencintainya dan selalu menuruti segala keinginannya, namun Marsiti selalu hormat kepadanya.
            Ay Tjeng terpaksa melepaskan Marsiti demi mengikuti kehendak ayahnya untuk menikahi Gwat Nio yang merupakan putri pemilik perkebunan tempatnya bekerja. Marsiti sendiri mendorong Ay Tjeng untuk patuh pada kehendak orang tua dan pergi meninggalkan Ay Tjeng. Setiap saat menjelang pernikahannya, Ay Tjeng terus mencari Marsiti namun tidak ada orang yang mengetahui keberadaannya.
Beberapa hari kemudian, Ay Tjeng menikah dengan Gwat Nio hingga mereka dianugrahi seorang anak perempuan bernama Lily. Pada awalnya Ay Tjeng belum dapat melupakan Marsiti, namun lama kelamaan rasa cintanya memudar karena Gwat Nio memiliki potongan tubuh, pita suara, sorot mata, senyum, dan sifatnya yang sama seperti Marsiti[2]. Hanya saja Marsiti tidak terpelajar dan pemalu sedangkan Gwat Nio wanita yang terpelajar dan pemberani.
Pada suatu hari, Liok Keng Djim mengalami sakit parah dan memberitahukan rahasia mengenai Marsiti. Namun sebelum meneruskan kata-katanya, Liok menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan kata yang tertahan hingga menimbulkan sebuah rahasia yang belum sempat diketahui dan ternyata setelah itu, Ayah Ay Tjeng pun menyusul kepergian Liok untuk selama-lamanya.
Ay Tjeng merasa ada keanehan di diri anaknya yang selalu suka dengan hal-hal yang sedih sehingga Ay Tjeng memutuskan utuk menanyakan hal itu kepada seorang peramal tentang nasib anaknya. Salah satu orang peramal mengatakan bahwa umur Lily tidak akan panjang. Lily selalu memikirkan perihal ramalan itu sehingga Lily meninggal dunia sebelum ia menikah lantaran penyakit yang menyerang saraf serta terlalu terpukul memikirkan perkataan peramal itu sehingga membuat batinnya sangat tertekan.
Suatu ketika Bian Koen sedang berada di pekuburan, ia bertemu dengan Roosminah yang parasnya serupa dengan Lily. Kedua orang tuanya tidak percaya dan menganggap Bian sedang kesambet arwah pekuburan astana dan mereka langsung memanggil dukun setempat untuk mengobati Bian. Dukun tersebut mengatakan bahwa gadis itu adalah Roosminah yang merupakan bunga desa Cikembang. Orang tua Bian mendatangi rumah Roos dan menanyakan asal-usul Roos yang ternyata ibunya bernama Marsiti. Hingga akhirnya terungkaplah rahasia bahwa Roosminah adalah anak Marsiti dengan Ay Tjeng. Ketika Ay Tjeng dan Gwat Nio dipertemukan dengan Roosminah, Mereka sangat bahagia karena mendapatkan pengganti Lily. Sejak takdir mempertemukan mereka. Bian menyebut Roosminah dengan panggilan Roseliliy. Mereka akhirnya menikah dan dikaruniai dua orang anak. Roh Marsiti pun ikut bahagia karena ia selalu ada untuk menemani dan memberi kebahagian pada mereka.

2.3              Unsur Intrinsik “Bunga Roos dari Cikembang”
            Pada umumnya, para ahli membagi unsur instrinsik prosa atas alur (plot), tokoh, watak, penokohan, latar cerita (setting), sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan tema. Berikut ini akan dijabarkan secara lebih mendalam.
a.      Tokoh, Watak, dan Penokohan
            Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan (Aminuddin, 1984:85). Tokoh dalam karya sastra selalu mempunyai sifat, sikap, dan tingkah laku. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
            Pada novel ini terdapat beberapa tokoh, diantaranya: Ay Tjeng, Marsiti, Kaptain Oh Pin Lo, Liok Keng Djim, Tirta, Gwat Nio, Lily, Roosminah, Elsy, Mina, Bian Koen, Bapak Asgari, dan Tjoen Hoe.
1.      Ay Tjeng adalah seorang laki-laki yang berprofesi sebagai administrator perkebunan Karet di daerah gunung Mulia.
2.      Marsiti adalah nyai dari Ay Tjeng. Dia dicitrakan sebagai perempuan Sunda yang halus, penurut, pintar, dan setia pada tuannya
3.      Kaptain Oh Pin Lo adalah ayah dari Ay Tjeng yang hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya tanpa memikirkan perasaan orang lain yang sangat mencintai anaknya, yaitu Marsiti.
4.      Gwat Nio adalah istri Ay Tjeng yang baik budi dan pintar yang memiliki banyak kesamaan dengan Marsiti.
5.      Tirta adalah pesuruh sekaligus teman dekat Ay Tjeng. Ia sangat pandai menjaga rahasia. Hal itu terlihat dari bagaimana dirinya menutup rapat rahasia tentang asal-usul Roosminah.
6.      LIly adalah anak dari Ay Tjeng dengan Gwat Nio. Ia sosok perempuan yang melankolis karena ia sangat menyukai hal-hal yang sedih.
7.      Roosminah adalah anak dari Ay Tjeng dengan Marsiti. Ia sangat cantik sehingga dijuluki sebagai kembang desa dan parasnya sangat mirip dengan Lily sehingga ia menjadi istri Bian untuk menggantikan Lily.
8.      Bian Koen adalah calon suami Lily dan menjadi suami Roosminah.
9.      Tjoen Hoe adalah ayah dari Bian Koen yang sangat mempercayai keberadaan dukun.
10.  Bapak Asgari adalah Dukun yang menjadi awal dari penyelesaian dalam cerita.

b.     Latar Cerita (Setting)
            Latar adalah waktu dan tempat terjadinya lakuan di dalam karya sastra[3]. Abrams (1981:173) mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu kesejarahan, dan kebiasaan masyarakat dalam setiap bagian. Latar waktu dalam novel “Bunga Roos dai Cikembang” adalah pada saat zaman kolonial dimana suasananya adalah memperlihatkan kesenjangan nyai dengan tuannya.
            Latar tempat terjadi di desa Cikembang yang menjadi saksi kisah para tokoh. Latar sosial menggambarkan bahwa pandangan hidup pada saat itu sangat mempercayai stigma yang belum jelas kebenarannya. Hal itu terlihat pada pandangan hidup Oh Pin Lo yang terlihat pada kutipan “Janganlah kau kasih hatimu kerna dijebak oleh prampuan begitu, apalagi prampuan Sunda memang dari dulu sudah terkenal pande kongtauw dan mengeret, dan tersohor sabagi prampuan yang paling tida setia di seantero Indonesia” (hlm. 313).

c.      Sudut Pandang
            Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam ceita atau pencerita diaan yang berada di luar cerita[4].“Dengen bengong Ay Tjeng bersender di korsi males mengawasi pada itu gunung Gedeh yang puncak-puncaknya sedeng tertabur oleh sinar kuning emas dari matahari yang ampir surup” (hlm. 302). Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga seba tahu dimana pengarang menggunakan pencerita yang sama sekali tidak terlihat dalam cerita karena berada di luar cerita yang hanya menjadi pengamat yang mengamati perjalanan para tokoh[5].

d.     Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dimaksud adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang merupakan suatu sarana sastra yang amat penting[6]. Latar yang disajikan dalam cerpen ini adalah daerah sunda, maka gaya bahasanya adalah bahasa Sunda dengan gaya Melayu-Tionghoa yang sangat terlihat sebagai pembawaan diri pengarang meingat KTH berasal dari tionghoa. Hal itu telihat pada kutipan “Saya harep ini ceita yang maskipun bersifat sedih, tida menuturken kejahatan, kakejeman, atawa kaserakahan liwat bates, nanti bisa membangunkeun orang punya pikiran tentang beberapa sual-sual yang sulit dalem penghidupan, di mana sang takdir atawa nasib seringkali mendorong manusia aken ambil satu tindakan yang bertentangan dengen kehendak hati sendiri, dan membikin rugi atawa cilakanya laen orang dengen zonder sengaja” (hlm. 300).

e.      Alur
            Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menghidupkan jalan cerita melalui sekelumit cerita ke arah klimaks dan penyelesaian. Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. Aminuddin (1984: 94) membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian, diantaranya:
§  Tahap Pengenalan
            Tahap pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita yang memperkenalkan para tokoh, misalnya nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya. Hal itu dapat terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan tokoh Tuan Ay Tjeng beserta latar dari situasi cerita. Yaitu: “Tuan Oh Ay Tjeng, administrateur dari rubber Onderneming “Gunung Mulia” yang terletak antara Gunung salak dan Gunung gedeh. Ada seorang muda yang hargakeun kacantikan alam, ia ada duduk di atas kursi malas dari rotan di bagian belakang dari ia punya rumah yang mungil, yang letaknya di atas bukit di tenga-tenga itu onderneming, dari mana orang bisa dapat liat dengen tegas pada gunung-gunung Gedeh dan Salak yang pernanya sebrang menyebrang, satu di Wetan, satu di Kulon (hal. 302).” Perkenalan tokoh Marsiti pun terlihat pada kutipan “dan maskipun Marsiti ada satu parampuan sunda pegunungan yang tiada terpelajar tapi otaknya ada terang, hingga dalem tempo sebentar saja Ay Tjeng sudah bisa ajar padanya menulis dan membaca bahasa Melayu dan Sunda dengan huruf Muziek (hal. 305).”
§  Tahap Konflik atau Tikaian
            Tahap konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita. Pada tahap ini terlihat ketika ayah Ay Tjeng mendatangi Ay Tjeng agar Ay Tjeng menerima lamaran dan segera menikah dengan putri seorang hartawan yang bernama Gwat Nio untuk menaikan derajat keluarga Ay Tjeng kembali dan Oh Pin Lo juga meminta Marsiti untuk pergi meninggalkan kehidupan Ay Tjeng.
§  Tahap Komplikasi atau Rumitan
            Tahap komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan yang mengembangkan tikaian. Pada tahap ini terlihat ketika Marsiti memutuskan untuk meninggalkan Ay Tjeng supaya pernikahan Ay Tjeng dapat berjalan lancar. Keberadaan Marsiti pun tidak diketahui Ay Tjeng sampai hari pernikahan itu tiba, namun marsiti pun tak kunjung diketemui. Dilanjutkan kembali ketika suatu hari ayah Gwat Nio berada dalam keadaan sekarat dan menceritakan banyak hal mengenai Marsiti
§  Tahap Klimaks
            Tahap klimaks adalah bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak ketegangan. Hal itu terlihat ketika meninggalnya Liok Keng Djim dan Ayah Ay Tjeng yang menyebabkan tertundanya hal atau suatu perkara yang akan disampaikan. Hal itu belum disampaikan lantaran terputus oleh maut yang menimpa. Setelah lama meninggalnya Liok Keng Djim dan ayah Ay Tjeng ternyata muncul masalah yang menimpa anaknya Ay Tjeng sehingga membuatnya meninggal dunia.
§  Tahap Krisis
            Tahap Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Hal itu terlihat ketika tunangannya Lily berkeliling desa Cikembang dengan kudanya dan pada suatu pemakaman, Bian Koan melihat pohon puring mangkok emas di satu kuburan dan ia berniat untuk memetik pohon tersebut. Namun, sebelum memetik ia lebih dahulu dikejutkan dengan sosok perempuan yang seperti Lily sehingga membuatnya tak sadarkan diri.
§  Tahap Leraian
            Tahap leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks. Hal ini terlihat ketika foto Lily diperlihatkan kepada si dukun sehingga membuatnya tersontak kaget dan mengatakan kalau sosok itu adalah Roosminah sehingga orang tua Bian pun menemui Roosminah.
§  Tahap penyelesaian
            Tahap penyelesaian adalah tahap akhir dari suatu cerita. Hal itu terlihat ketika Tjoen Hoe mempertemukan Ay tjeng dengan Roosminah sehingga terkuaklah tabir rahasia yang masih tersimpan bahwa Roosminah adalah anak dari Ay Tjeng dengan Marsiti. Kisah mereka pun kembali membaik dan Bian pun menikahi Roosminah.

f.                   Tema dan Amanat
Tema dalam novel menggambarkan mengenai perkawinan campur, perbedaan etnis, dan kemanusiaan yang dibalut dalam hubungan cinta mendalam seorang pria Cina dengan perempuan Sunda yang tidak lazim di masa itu yang menceritakan mengenai kesetiaan perempuan sunda sehingga membantahkan stigma yang mengatakan bahwa perempuan sunda (Nyai) itu sebagai perempuan yang paling hina.
Sebuah pesan atau amanat tidak dapat lepas dari sebuah karya sastra, karena karya sastra tidak hanya sebuah karya seni belaka yang menyimpan keindahan semata bagi para pembaca namun di dalamnya terdapat pesan-pesan sosial (kemanusiaan) yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Karena bagaimanapun juga, masyarakatlah yang mengonsumsi suatu karya sastra. Amanat yang dapat diambil dalam novel adalah agar dapat merepresentasikan interaksi sosial antar tokoh secara lebih komprehensif, dapat menyayangi dan menghargai orang  lain tanpa memperhitungkan derajat dan jenis etnik, serta menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi cobaan yang menimpa. Selain itu, BRDC merupakan novel yang banyak mengandung pesan moral dalam sosial terutama bagaimana hubungan antara Etnis Tionghoa dengan Indonesia (Sunda). Kita dapat melihat bagaimana moral Tionghoa yang menjadikan pribumi sebagai nyai (perempuan) atau menjadi budak mereka. Dan ini merupakan simbol-simbol dari kolonialisasi yang menghendaki adanya kedudukan dari segi  moral, ekonomi, maupun kebudayaan.

2.4              “Pembentukan Citra Nyai dalam Novel “Bunga Roos dari Cikembang.”
Cerita Bunga Roos Dari Cikembang (BRDC) ini adalah salah satu cerita yang bertemakan pernyaian dengan latar belakang masyarakat (peranakan) Cina di Indonesia (Sunda). BRDC ini mencerminkan latar sosial (kemanusiaan) peranakan Cina di Sunda yang sangat erat dengan pernyaian dengan kedudukan yang sangat hina sebagai pandangan pengarang tentang kehidupan zaman kolonial. Simbol kolonialisme dicitrakan pada tokoh Nyai (Marsiti) yang dicitrakan sebagai perempuan Sunda yang halus, penurut, hemat, dan tunduk pada tuannya. Penundukan Marsiti dapat disimbolkan sebagai bentuk kolonialisme yang dikondisikan sebagai kelompok termajinalkan yang layak menjadi nyai. Pengkondisian itu didukung oleh latar belakang Marsiti sendiri yang tidak lain adalah anak dari seorang nyai. Ay Tjeng berperan sebagai pihak Tuan yang membentuk citra Marsiti sebagai perempuan yang halus, domestik, dan patuh terhadap dirinya (Nyai terhadap tuannya).
            Meskipun pernyaian sangat kentara namun KTH sangat halus untuk memadukannya. Paduan yang dilakukan oleh KTH melalui motif rasa kasih sayang tanpa memperhitungkan derajat dan jenis etnik walaupun sekilas novel ini seperti novel percintaan antara nyai dengan tuannya karena Marsiti sangat tulus mencintai tuannya begitu pula sebaliknya. Namun, dibalik itu semua sesungguhnya terdapat ide atau gagasan lain yang dimunculkan oleh KTH yang ingin menaikan derajat Nyai yang selalu memunculkan stigma yang buruk. Stigma Nyai yang buruk terdapat pada kutipan “Maka janganlah kau kasih hatimu kerna dijebak oleh prampuan begitu, apalagi prampuan Sunda memang dari dulu sudah terkenal pande kongtauw dan mengeret, dan tersohor sabagi prampuan yang paling tidak setia di seantero Indonesia” (Hlm. 313). KTH mengangkat stigma buruk tersebut dengan membantah stigma tersebut. KTH membantahnya melalui watak Marsiti yang dihadirkan memiliki rasa cinta dan pengabdian yang sangat tulus kepada tuannya tanpa memikirkan harta tuannya dan rela berkorban untuk membahagiakan keluarga tuannya dengan pergi menjauh agar Ay Tjeng menikah dengan Gwat Nio sehingga dapat menaikan derajat tuannya. Ketulusan Marsiti digambarkan ketika Marsiti pergi tanpa sepengetahuan Ay Tjeng dan tidak membawa harta Ay Tjeng karena marsiti bukanlah perempuan yang gila harta. Selain itu, KTH memperlihatkannya melalui kesetiaan Marsiti yang walaupun Ay Tjeng sudah menikah dengan Gwat Nio dan memiliki seorang anak namun Marsiti memilih untuk tetap setia sampai ajal menjemputnya.
Pembentukan citra nyai terlihat melalui pesan dari Marsiti bahwa Marsiti sangat menyukai bunga yang selalu disia-siakan oleh banyak orang, yaitu bunga cente dan harendong hingga di waktu mau meninggal, Marsiti berpesan kepada seorang kakek agar jangan menyebarkan bunga dikuburannya selain bunga cente dan harendong. Kedua bunga itu selalu dianggap tak berharga. Namun bagi Marsiti, kedua bunga itu sangatlah berharga dan tak dipandangnya sebelah mata. Hal itu terlihat pada kutipan “Marsiti kasih alesan, saliara dan harendong ada kembang yang tersia-sia, tida seorang yang perduliken, yang mau rawat atawa kagumin, malah dibenci dan dimusuhin, sedeng sebetulnya itu kembang tida berdosa dan sampe bagus di pemandangan.” (hlm. 398). Dengan cara tersebut, KTH menentang stigma yang melekat pada perempuan Sunda (Nyai).
KTH memperlihatkan sikap positif Ay Tjeng yang peduli pada nyai. Terlihat dari sikap Ay Tjeng yang tak mau meninggalkan Marsiti ketika Ay Tjeng dijodohkan dengan Gwat Nio. Meskipun pada akhirnya Ay Tjeng tidak bisa membantah perintah orang tuanya dan harus meninggalkan Marsiti. Namun hal ini tidak akan terjadi jika Marsiti tidak pergi dari rumah Ay Tjeng. Jika Marsiti lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah Ay Tjeng, pasti Ay Tjeng akan tetap memilih Marsiti. Hal ini terlihat bahwa setelah Ay Tjeng menikah dengan Gwat Nio, Ay Tjeng tetap tak bisa melupakan Marsiti. Ay Tjeng bisa menerima Gwat Nio karena dia mempunyai kemiripan dengan Marsiti.
Setelah diketahui bahwa Marsiti mempunyai anak dari Ay Tjeng yang bernama Roosminah, Ay Tjeng dan Gwat Nio pun mau menerima kehadiran Roosminah. Bahkan, Gwat Nio memperlakukan Roosminah seperti anaknya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa Ay Tjeng sangat bertanggung jawab terhadap nyai yang dipilihnya, memperlakukannya dengan baik dan juga mau menerima dan mendidik dengan baik anak yang diperolehnya dari nyai itu. Dengan kata lain, melalui tokoh Ay Tjeng dan Marsiti ini, Selain ingin membantah stigma nyai, KTH pun menanamkan tujuannya yaitu untuk menghapus prasangka buruk terhadap seorang nyai dan anak-anaknya yang biasanya tidak diperlakukan selayaknya
             Pembentukan citra nyai semakin terlihat pada kehadiran Bian Koen yang merupakan tunangan Lily, anak dari Ay Tjeng dengan Gwat Nio. Ketika akan diadakan pernikahan, Lily meninggal dunia. Hati dan pikiran Bian Koen menjadi kacau. Dia tidak mau menikah dengan siapapun kecuali yang rupanya mirip dengan  Lily. Pada suatu ketika, Bian Koen berjalan-jalan diperkebunan dan bertemu dengan seorang gadis yang serupa dengan Lily, yang kemudian diketahui bernama Roosminah yang merupakan anak dari Ay Tjeng dengan Marsiti sehingga mirip dengan Lily karena ada pertalian darah (Lily adalah anak dari Ay Tjeng dengan Gwat Nio dan Roosminah adalah anak dari Ay Tjeng dengan Marsiti). Kemiripan itu juga didukung oleh kenyataan bahwa Marsiti adalah anak dari nyai ayahnya Gwat Nio.
Roosminah diberi nama Rooselily oleh Bian Koan dan menikah dengan Bian Koen dan mereka hidup bahagia dan mempunyai dua orang anak. Pernikahan Rooselily dengan Bian Koen yang dilakukan oleh Ay Tjeng merupakan sarana untuk menaikan derajat pernyaian. Hal itu terlihat jelas pada status Minah (Ibu marsiti) dan Marsiti yang menjadi seorang nyai yang menjalin hubungan tanpa adanya status pernikahan. Dengan adanya pernikahan yang terjadi pada Rooselily dengan Bian koen. Rooselily telah menaikan derajat pernyaian yang sebelumnya tidak ada tali pernikahan sehingga seorang nyai tidak lagi dianggap hina oleh masyarakat.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kwee Tek Hoay adalah sastrawan Melayu-Tionghoa yang sangat produktif bila dibandingkan dengan sastrawan Melayu-Tionghoa yang lainnya. Ia adalah seorang tokoh ajaran Tridharma yang banyak menulis karya sastra tentang kehidupan sosial dan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ia pernah menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang bersikan ajaran agama Buddha dengan nama “Moestika Dharma” (1932-1934).
Novel Bunga Roos Dari Cikembang ini adalah salah satu cerita yang bertemakan pernyaian dengan latar belakang masyarakat Cina di Indonesia (Sunda) yang terbit pertama kali pada tahun 1927. cerita ini terinspirasi dari “A Midsummer’s Night Dream” karya William Shakespeare. Cerita ini menceritakan mengenai kawin campur, perbedaan etnis, dan nilai kemanusiaan yang penuh dengan mistik dan bercampur dengan reinkarnasi dan firasat yang mengharukan. Hal itu dilakukan KTH untuk menghapus prasangka nyai dan putri-putrinya yang sangat hina di masyarakat. Dalam hal ini, tokoh nyai hanya ditempatkan sebagai objek yang dimaknai kehadirannya untuk menghadirkan kehidupan zaman kolonial yang selalu menderita dan percintaan yang digambarkan antara Tuan dengan Nyai hanya untuk membungkus gagasan KTH dan menggambarkan percintaan yang tak lazim pada masa kolonial.

Saran

Novel “Bunga Roos dari Cikembang” merupakan bagian yang penting dipelajari dalam mata kuliah “Kajian Prosa.” Dengan membaca dan mempelajarinya lebih lanjut, kita dapat memahami karya tersebut dengan baik agar dapat terekspolasi menjadi sebuah konsep yang bukan saja diketahui namun dapat diingat sepanjang waktu sehingga kita sebagai pembaca karya sastra tidak begitu saja membenci karya sastra yang dianggap liar.

 

PUSTAKA ACUAN

Chanaklimaks. http://chanaklimaks.wordpress.com/2010/04/02/kwee-tek-hoay-dan-pandangan-terhadap-kebangsaan-indonesia-yang-tercermin-di-dalam-karyanya/, “Gambaran Umum Karya-karya Kwee Tek Hoay”. Diakses pada hari Sabtu, 19 Maret 2001, pukul 20.47 WIB.

Ferdiyawati, Mirna. http://mirnaferdiyawati.blogspot.com/. “Ulasan Bunga Roos dari Cikembang”. Diakses pada hari Sabtu, 19 Maret 2001, pukul 21:52 WIB.

Kwartananda, http://iccsg.wordpress.com/Didi, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan”. Diakses pada hari Sabtu, 19 Maret 2001, pukul 11.07 WIB.

Kwee Tek Hoay. 1927 “Bunga Roos dari Cikembang” Cicurug.

Pramono, Dedi. http://blog.uad.ac.id/dedypramono/2011/02/11/interaksi-dalam-sastra-melayu-tionghoa/, “Interaksi dalam Sastra Melau Tionghoa”. Diakses pada hari Sabtu, 19 Maret 2001, pukul 16:29 WIB.

Rokhmansyah, Alfian. http://phianzsotoy.blogspot.com/2009/03/analisis-masalah-redefinisi-nyai-dalam.html, “Analisis Masalah Dalam Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay”. Diakses pada hari Sabtu, 19 Maret 2001, pukul 21:54 WIB.

Semi, M. Atar. 1988. “Anatomi Sastra” Padang: Ikapi.
Siswanto, Dr. Wahyudi. 2008 “Pengantar Teori Sastra” Jakarta: PT Grasindo.
Yudiono, K. S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: PT Grasindo.
Zaidan, dkk. 2007. “Kamus Istilah Sastra” Jakarta:Balai Pustaka.

 



[1] Kwee Tek Hoay, Bunga Roos Dari Cikembang, hlm. 302.
[2] Kwee tek Hoay, Bunga Roos dari Cikembang, hlm. 325.
[3] Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 118.
[4] Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 194.
[5] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta:Grasindo), hlm. 154.
[6] M. Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang:Angkasa Raya), hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar