Sabtu, 04 Juni 2011

Pengaruh Tokoh Hamidah Terhadap Pembaca (Perempuan) dalam Roman Kehilangan Mestika Di Tinjau Secara Psikologi Oleh Tian Fatmanuraini

Dalam kesusastraan Indonesia, masih sedikit kaum perempuan yang berkecimpung di bidang sastra. Dunia sastra masih didominasi kaum laki-laki. Tak heran jika cara pandang gender pun terjadi. Ideologi yang mendominasi masyarakat nampaknya turut memengaruhi cara pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam karyanya. Pertentangan pokok masyarakat Indonesia mulai dari sistem sosial yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap golongan bangsawan yang meningi-ninggikan pangkat, hingga pada kekuatan sebagai pendukung kekuasaan adalah tantangan terbesar bagi kemerdekaan perempuan. Struktur sosial tersebut menempatkan perempuan sebagai objek tertindas, tersakiti, dan dilemparkan secara nista seperti pelacuran yang berpilar pada kepasrahan perempuan.
            Roman “Kehilangan Mestika” lebih banyak terpusat pada kemalangan tokoh utamanya walaupun ditulis oleh pengarang perempuan. Hamidah, sungguhpun begitu dalam gelombang penderitaan yang dialami Hamidah, pengarangnya sendiri yang kebetulan menggunakan nama samaran yang sama dengan nama tokoh utamanya terkesan hendak menampilkan ketabahan ketika mengalami suatu kemalangan, tetapi tidak dikembangkan lebih lanjut karena usahanya untuk memajukan harkat kaumnya yang merintiskan perkumpulan bagi kaum wanita pun terhenti karena kehilangan semangatnya setelah beberapa kali ditinggal oleh beberapa orang yang dicintainya.
Kemalangan tokoh Hamidah langsung diperlihatkan di awal romannya yang menceritakan bahwa Hamidah ditinggal oleh ibunya untuk selama-lamanya. Hal itu terlihat dalam kutipan “Aku berumur kira-kira 4 tahun, tatkala aku ditimpa malapetaka jang tak kuketahui, ibu jang kutjintai, ibu yang wadjib mendjaga dan mendidik diriku, terpaksa menutupkan matanya untuk selama-lamanya, sesudah menanggung penjakit beberapa hari sadja.”
Hamidah lalu kehilangan kekasihnya, yaitu Ridhan. Hal itu terlihat dalam kutipan “Tak beberapa hari kemudian datanglah pula Ahjar kepadaku membawa sehelai telegram jang diterimanja dari Singapura, mengatakan bahasa Ridhan pada hari tersebut dalam telegram ia sudah meninggal dunia dengan tiba-tiba. Mendengar itu telingaku mendesing, badanku menjadi lemah, achirnya, ja, apa yang terdjadi sesudah itu taklah kuketahui” karena kejadian itu. Hamidah hampir dirundung putus asa. Hal itu terlihat pada kutipan “Djasmaniku hidup tetapi rohaniku rusak binasa! Bagaimanakah dan apa gunanja hidup dengan tak mempunjai sukma?” Namun Hamidah dapat kembali membangkitkan semangat hidupnya. Hal itu terlihat pada kutipan “Tetapi aku masih mau hidup dengan baik. Aku belum putus harapan; biarlah aku berusaha!”
Tak lama, Hamidah kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Hal itu terlihat pada kutipan “Sesudah memakan makanan jang dimintjanya itu, penyakitnja makin bertambah keras, sampai kepada ajalnya.” Dengan kejadian itu membuat Hamidah kehilangan dahan gantungan karena kehilangan seseorang yang menjaga dirinya dan menanggung baik perbuatannya. Tetapi Hamidah tetap bersikap tabah atas apa yang terjadi dalam hidupnya
Kemalangan Hamidah tak berhenti sampai disitu. Karena keputusasaannya yang diakibatkan oleh Idrus yang mengacuhkan cintanya, ia terpaksa menerima pernikahannya dengan seorang yang tak dicintainya. Yaitu Rusli. Namun pernikahannya tidak berjalan lama karena rusli memutuskan untuk menikah lagi dikarenakan Hamidah yang tak kunjung mendapatkan keturunan. Awalnya Hamidah menyetujui keputusan suaminya, namun lama kelamaan ia pun tak kuat juga sehingga pernikahannya harus terhenti dan ia pun harus bercerai dengan suami dan anak tirinya.
Menurut pandangan psikologi, Kelemahan emosi yang sering muncul pada wanita biasanya bersangkutan dengan lingkungan dan logika keadaannya. Depresi dapat menyebabkan manusia berada di titik nol dalam hidupnya. Penyebabnya banyak sekali, ketidakseimbangan dalam otak, stres, kegagalan, berdukacita yang berlebihan, dan konflik emosional (Psikologi Umum, 2003: 92). Dalam hal ini jika dilihat secara logika, seorang wanita yang ditimpa kemalangan berturut-turut hingga pada akhirnya benar-benar kehilangan semangatnya adalah hal yang wajar. Seorang wanita yang mengalami depresi dapat mengalami rasa kesedihan yang terlalu dalam. Hal itu dapat terlihat ketika Hamidah kehilangan semangatnya setelah ia ditinggalkan beberapa orang yang disayanginya. Hal inilah yang ditakutkan dalam kehidupan seseorang, manakala pembaca merasakan apa yang dialami oleh tokoh Hamidah sehingga pembaca tidak ingin seperti dia dan dapat menimbulkan semangat untuk meneruskan perjuangan Hamidah dalam memajukan harkat kaumnya. Selain itu, akan diperoleh pengalaman yang berdampak bagi kejiwaan seseorang sehingga dapat dijadikan sebagai pembelajaran agar tidak merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh Hamidah. Keistimewaannya adalah dengan sudut pandang keakuan sehingga pembaca seakan-akan terlibat di dalam cerita tersebut dan lebih menonjolkannya sebagai curahan hati pengarang dan pengakuannya terhadap pengarang itu sendiri sehingga melahirkan sebuah opini bahwa emansipasi wanita pada zaman sekarang ini, dalam meningkatkan harga diri dapat dicapai melalui dunia pendidikan karena perjuangan harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan masih banyak tantangan zaman yang harus dilewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar