Minggu, 03 Juli 2011

Pandangan Tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Tian Fatmanuraini

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Kehadiran karya sastra dapat memberikan pengalaman dan pengertian yang besar mengenai kenyataan di luar karya sastra karena melalui karya-karya sastra itulah manusia menggunakannya sebagai cermin dalam memaknai dan memahami kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa karya sastra lebih memperhatikan aspek nonsastra dari pada aspek imajinasi. Meskipun berangkat dari sejarah, pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain, sebuah karya mampu menjadi karya sastra karena memang dimaksudkan oleh pengarang sebagai karya sastra dengan berbagai strategi dari pengarangnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman.
Menjadi rakyat yang tertindas oleh ekonomi dan politik adalah pengalaman yang tidak mudah dilupakan karena menimbulkan konflik batin yang sangat mendalam. Itulah yang menjadi sebab munculnya berbagai karya sastra yang mengisahkan perubahan sosial-politik pada kurun waktu sekitar 1965, di mana terjadinya geger politik yang melibatkan banyak korban, baik korban politik maupun korban kemanusiaan sehingga banyak karya sastra yang mengusung tema mengenai masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa.
Ronggeng dukuh paruk (1981) merupakan salah satu novel karya Ahmad Tohari yang dapat dijadikan sebuah dokumentasi sosial pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1965-1966 di Indonesia yang higga kini masih menyisakan kegetiran dan kesengsaraan bagi sebagian rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Ahmad Tohari mencoba mendeskripsikan suasana perpolitikan semasa orde baru yang kacau-balau.
Srintil dalam novel tersebut dijadikan sebagai potret perempuan yang menyuarakan resistensi kaum dengan cara menyetarakan gender dan dilukiskan sebagai duta budaya yang sudah menjadi tradisi di tempat terpencil yang terkenal akan keterpurukannya. sebagai citra perempuan, Srintil tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan laki-laki. Adapun sebagai duta budaya yang mengangkat citra perempuan, Srintil menyadari perannya sebagai ronggeng yang harus mengikuti berbagai ritual dan harus melayani berbagai naluri laki-laki yang sangat memuja srintil dan berusaha keras untuk menidurinya. Hal itu dapat dijadikan gambaran mengenai keselarasan antara perempuan dan laki-laki yang bersama-sama hadir dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal inilah terdapat beberapa pandangan Srintil mengenai tradisi ronggeng yang menunjukan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh Srintil sehingga penulis akan membahasnya dalam judul “Pandangan Tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk” disertai dengan unsur instrinsik yang dibahas secara singkat dan jelas.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut. Rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana Pandangan tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng dalam  Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk?.”
3.      Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah tersebut. Tujuan yang diharapkan adalah penulis dapat mengetahui dan menjelaskan gambaran mengenai pandangan tokoh Srintil terhadap tradisi ronggeng dalam novel trilogi ronggeng dukuh paruk.





B.     Biografi Ahmad Tohari

Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Ia menempuh pendidikan formalnya hanya mencapai SMAN di SMAN II Purwokerto. Akan tetapi, ia pernah menjelajahi pengalaman pendidikan di beberapa fakultas, seperti fakultas ekonomi, sosial politik, dan kedokteran di salah satu universitas yang berada di Jakarta dan Purwokerto walaupun semuanya tidak berhasil diselesaikannya. Dalam situasi yang kalut, ia sering membuat tulisan-tulisan untuk membunuh rasa jenuhnya. Setelah beberapa tulisannya berhasil diterbitkan oleh beberapa surat kabar, ia memustuskan untuk memasuki dunia tulis-menulis dengan sungguh-sungguh. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi redaktur pada harian merdeka sejak tahun 1979 hingga 1981, dilanjutkan dengan menjadi staf redaksi hingga 1986, dan setelah itu menjadi dewan redaksi pada majalah amanah hingga 1993. Selain itu, ia pun menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis yang aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Di desa Tinggarjaya, Ahmad Tohari merawat sebuah pesantren bersama istrinya, Syamsiah yang bekerja menjadi guru sekolah dasar. Mereka menghidupi ketiga anaknya dengan pendidikan yang tinggi. Ahmad tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya, hal itu selalu diperlihatkannya dalam karyanya. Hampir semua karyanya adalah lapisan ekonomi menengah kebawah dengan nuansa alam yang sangat menonjol karena Ahmad Tohari sangat menyukai suasana yang tentram seperti kampung halamannya. Atas dasar itu pula, ia merasa tidak kerasan tinggal di kota Jakarta yang sibuk dan penuh dengan keramaian kota.
Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami oleh kisah nyata yang menggambarkan lingkungan di sekitarnya, kemudian ia tuangkan dalam bentuk karya sastra yang dilengkapi dengan manipulasi dan imajinasi tertentu yang turut memberikan makna serta memperindah karya yang diciptakannya karena Ahmad Tohari yakin bahwa karya sastra merupakan bentuk lain dari berdakwah yang tujuannya untuk mencerahkan batin manusia dan sebagai sarana mengingatkan masyarakat agar semakin beradab.
Pada paruh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya, Jasa-jasa Buat Sanwirya memenangkan hadiah dalam sayembara kincir emas radio nederland wereldomroep (1975), lalu menerima berbagai penghargaan dan melahirkan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri atas Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, nama Ahmad Tohari semakin tekenal. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sering pula disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya agungnya karena karya itulah yang melambungkan nama Ahmad Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan Indonesia sehingga nama Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.
C.    Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk
Trilogi ronggeng dukuh paruk merupakan kontribusi baru yang penting bagi studi kesusasteraan sejarah Indonesia karena di dalamnya mengandung komplikasi persoalan dengan aspek-aspeknya yang menarik bagi pengembangan hubungan kesastraan dengan sejarah sosial. Dalam hal ini, terlihat dari kekhasannya yang benar-benar menceritakan berbagai kronologi dan problema yang hadir dalam sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Banyumas, Indonesia. Ronggeng dukuh paruk dapat dikatakan sebagai simbol verbal yang diselimuti dengan penggunaan bahasa imajinatif oleh pengarang supaya pembaca dapat memahami fenomena kehidupan pedesan yang dituangkan sebagai bentuk pencitraan kembali dengan daya imajinasinya.
Novel tersebut menggambarkan keterpurukan rakyat kecil dari berbagai unsur sosial, politik, psikologi dan budaya yang dilengkapi dengan konflik kejiwaan para tokoh yang beragam. Dari semua unsur tersebut diramu melalui cerita hilangnya sebuah tradisi ronggeng, kemiskinan desa, serta romantika percintaan yang menyatu dalam jalinan cerita yang sangat koheren.
Cerita ini berawal dari suatu desa terpencil, Dukuh Paruk yang kering kerontang telah menampakan kehidupannya kembali ketika Srintil menjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka menganggap bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya karena dukuh paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya (Hal. 16).
Srintil adalah potret anak dukuh paruk yang yatim-piatu akibat bencana tempe bongkrek. Enam belas penduduk meninggal karena memakan tempe yang terbuat dari ampas kelapa tersebut. Tak terkecuali juga kedua pembuat tempe itu, yaitu kedua orang tua Srintil. Setelah malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih bayi kemudian dipelihara oleh kakek neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada akhirnya mereka menyadari ternyata Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga kakek Srintil menyerahkannya kepada dukun ronggeng yang bernama Kartareja. Srintil menggantikan ronggeng sebelumnya atas restu arwah Ki Secamenggala dengan melewati berbagai tahap-tahap untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Pedukuhan yang sepi itu pun kembali bergairah sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru  menggantikan ronggeng yang meninggal dua belas tahun yang lalu. Sekejap Srintil telah menjadi primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati dirinya.
Banyak sekali yang bahagia atas kehadiran ronggeng Srintil. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh Rasus yang sangat benci dan kecewa menerima kenyataan bahwa Srintil benar-benar menjelma menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat dicintainya dan sebagai tempatnya untuk menggambarkan sosok emak yang tidak diketahuinya. Setelah Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus kehilangan sosok emaknya dan berfikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh paruk dan bertempat tinggal di desa Dawuan, tempat yang dijadikan sebagai pengasingan diri dari adat dukuh paruk. Di desa tersebut, membuat pandangan Rasus banyak berubah. Setelah itu, Rasus bertemu dengan kelompok tentara sehingga membuat Rasus tergabung menjadi serdadu.
Pengenalan atas dunia perempuan yang dialami di Dawuan pun banyak membuat pandangan terhadap Srintil sebagai tokoh bayang-bayang ibunya bergeser jauh, bahkan berhasil disingkirkannya. Oleh karena itu, ketika Rasus ditawari oleh Srintil untuk menjadi suaminya ia menolak. Menurutnya, dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk; ronggeng!. (Hlm. 107). Dengan keputusanya itu, Rasus yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan Emak, bayangan yang selama ini membuatnya resah.
Atmosfer politik menjelang tahun 1965 mengubah sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini hanya mengenal suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham dan lambang-lambang partai. Awalnya karena rombongan ronggeng pedukuhan itu sering diundang naik pentas di tengah rapat umum dan kampanye politik oleh kelompok partai komunis. Namun sesungguhnya Srintil yang tidak tahu apa tujuan dari semua itu telah dijadikan umpan penarik massa dalam rapat-rapat propaganda. Peristiwa G30S PKI meletus dan keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek komunis karena seringnya mereka meramaikan kampanye politik partai itu. Dukuh Paruk kemudian hancur bersama kobaran api, pedukuhan itu menjadi tumbal kemarahan terhadap PKI.
Dalam lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh Srintil, ia terlibat dalam kekalutan politik 1965. Srintil yang sedang naik daun, harus meringkuk di dalam penjara sebagai tahanan politik karena dianggap sebagai pendukung PKI melalui berbagai pementasan ronggengnya. Srintil mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orng hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan diembus angin (Hal. 241).
Setelah dibebaskan dari penjara, Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Srintil berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan dunia ronggeng, dan menata hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh semua orang, ia ingin menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan kehadiran Rasus. Letih menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul dalam hidupnya dan sepercik harapan pun timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Srintil berharap Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang terkesan akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat menahan penderitaan batinnya sampai ke titik nadir, Srintil kemudian menjadi gila yang pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.

D.    Unsur Instrinsik Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng dukuh paruk merupakan karya sastra yang bergender novel trilogi. Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur. Latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup yang diolah dengan teknik ragaan dan menjadi dasar konvensi penulisan.[1] Novel merupakan gambaran yang mengungkapkan berbagai permasalahan hidup manusia yang kompleks dan terjadi pada suatu zaman dan dapat menceritakan berbagai aspek kehidupan manusia secara mendalam yang diiringi dengan imajinasi dan berbagai strategi pengarang sehingga pembaca novel dapat mempelajari mengenai kehidupan manusia pada zaman tertentu.
Analisis suatu karya sastra, berarti menganalisis mengenai struktur fiksi atau unsur-unsur yang membangun fiksi. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra, seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar dan gaya bahasa.[2] Akan tetapi, pada umumnya para ahli membagi unsur instrinsik atas tema, alur (plot), tokoh watak dan penokohan, latar cerita, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat[3] yang akan dijelaskan dalam uraian berikut.
1.      Tema
Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita. Ronggeng Dukuh Paruk memiliki tema yang implisit, yaitu mengenai krtitikan terhadap keberpihakan sejarah sebagai oknum yang bersangkut-paut dengan peristiwa 1965 yang dibalut dengan penceritaan mendalam terhadap tradisi ronggeng Jawa Tengah dan telah menjadi kenistaan sepanjang hayat bagi para pelakunya yang membekas menjadi suatu trauma di dalam kehidupan para tokoh.
Hal itu terlihat pada kutipan “..Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia” (hal. 374). Pergulatan itu dalam rangka pencarian jati diri untuk menemukan arti hidup yang sesungguhnya ketika Srintil menginginkan sosok Bajus menikahinya. Akan tetapi, keinginan itu hilang bersama permintaan Bajus agar Srintil mau menemani Blengur bermalam. Ketika Srintil menolak, Bangur mengatakan “kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan” (hal. 374).
Perkataan Bajus tersebut mengingatkan kisah suramnya sebagai tahanan politik akibat kekejaman PKI yang terlihat pada kutipan “Di dalam kendaraan, alhamdulilah, Srintil kelihatan jinak. Tetapi turun dari bus dia hendak lari. Dia berteriak-teriak menuduhku hendak membawanya kembaali ke dalam tahanan” kutipan tersebut menggambarkan betapa traumanya Srintil dan sangat sulit untuk dilupakannya begitu saja. Tema implisit tersebut dibalut dengan kisah mengenai seluk beluk kehidupan dan perilaku penari ronggeng yang menjadi pusat daya pikat di daerah Jawa Tengah yang merupakan desa dengan segala kecabulan yang memang sangat naïf dan bodoh, kaum kecil yang sedang dipermainkan di antara pemain-pemain besar di kancah kekuasaan yang membawa petaka bagi penduduk Dukuh Paruk.
2.      Penokohan dan Perwatakan
Penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita.[4] Penokohan dan perwatakan memiliki hubungan yang sangat erat yang secara bersama-sama membentuk suatu totalitas perilaku yang bersangkutan.[5]
Pada mata kuliah kajian prosa, ibu Novi Diah haryani mengatakan bahwa Berdasarkan posisi, tokoh dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel sedangkan tokoh pendukung adalah tokoh yang tidak dipentingkan dalam cerita, dalam keseluruhan cerita pemunculannya lebih sedikit. Dalam hal ini, Sehubungan dengan Ronggeng Dukuh Paruk, yang menjadi tokoh utama adalah Srintil, seorang ronggeng jelita yang menjadi simbol dukuh Paruk. Hal itu terlihat pada kutipan “...di belakangku Dukuh Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana: keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah,irama calung, dan seorang ronggeng” (hal. 107) karenanya, tanpa ronggeng, pedukuhan itu kehilangan jati dirinya. Srintil digambarkan sebagai perempuan dengan segala keluguannya yang pada akhirnya harus menjadi korban politik yang otoriter dan kejam.
Selain itu, ibu Rosida Erowati dalam mata kuliah teori sastra, mengatakan bahwa menurut karakternya, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar adalah tokoh yang hanya memiliki satu sisi kepribadian yang dari awal cerita sampai akhir cerita tidak memiliki perubahan karakter. Dalam hal ini, yang menjadi tokoh datar adalah Sakarya, Kartareja dan istrinya. Sakarya merupakan sosok kakek yang sangat menghormati tradisi leluhur. Hal itu terlihat pada kutipan “Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng” (hal. 17). Kartareja dan istrinya memiliki karakter yang sangat serakah. Hal itu terlihat pada kutipan “Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor, dan aku tak kan disusahkannya dengan urusan kandang, rumput, serta bau busuk.” Ujar kartareja sambil membuang muka (hal. 70). Istri kartareja pun berpikir seperti apa yang dipikirkan suaminya. Dalam hal ini, tradisi ronggeng sudah terkontaminasi oleh ekonomi yang mengharuskan seseorang mencari keuntungan dengan alih-alih sebuah tradisi.
Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki perubahan karakter. Dalam hal ini Srintil memiliki perubahan karakter. Srintil yang awalnya digambarkan sebagai perempuan yang penuh dengan keluguannya berubah menjadi sosok yang dewasa dengan segala kewibaannya. Hal itu terlihat pada kutipan “Nyai tak usah berbicara seperti itu kepadaku.” Ujar Srintil dengan ketenangan yang mengagumkan (hal. 148). Rasus pun termasuk ke dalam tokoh bulat yang digambarkan dengan posisi yang ambivalen. Terkadang Rasus menjadi tokoh yang mendukung tradisi ronggeng. Hal itu terlihat pada kutipan “Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya” (hal. 107). Akan tetapi di sisi lain Rasus juga menunjukan keraguannya terhadap tradisi ronggeng. Hal itu terlihat ketika Rasus menunjukan rasa ketidakpeduliannya terhadap Ki Secamenggala dengan tidak menginginkan Srintil menempuh ritual ronggeng yang dijalaninya. Bisa jadi, Melalui tokoh Rasus, Ahmad Tohari menunjukkan betapa besar simpati dan empati Ahmad Tohari kepada budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Akan tetapi, bukan berarti ia setuju sepenuhnya terhadap kultur dan budaya Jawa tersebut.
3.      Latar Cerita
Karya fiksi merupakan sebuah dunia yang dilengkapi dengan tokoh dan permasalahannya. Latar bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari satu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka dan lain sebagainya.[6]
Novel Ronggeng dukuh paruk termasuk ke dalam latar tipikal karena acuan tempatnya sangat jelas, yaitu Dukuh Paruk di Jawa Tengah, Banyumas. Yang paling menonjol dari novel tersebut adalah penggambaran latar yang amat kuat. Hal itu diperlihatkan dari berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang berhasil di angkat oleh Ahmad Tohari. Hal itu bukanlah tanpa alasan. Dari semua jenis tumbuhan dan binatang itu, Ahmad Tohari dapat membandingkan perilaku manusia dan perilaku binatang.
“Angin tenggara tertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemeresik rumpun  bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk” Latar tempat terjadi di dukuh paruk yang merupakan sebuah kampung terpencil. Dukuh Paruk merupakan satu dukuh, yang kering dan tandus, dengan penduduknya yang sangat sederhana. Didalam kesederhanan tersebut, mereka mempunyai nilai-nilai moral, kebudayaan dan kebahagiaan yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat lain di luar dukuh tersebut. Kultur desa yang longgar dalam tata susila pernikahan dan desa tertinggal dengan dengan kata-kata cabul sebagai cirinya yang terlihat pada kutipan “Di sini memang pasar. Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun, bila dia bukan perempuan dari Dukuh Paruk akan marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak” (hal. 85).
            Selain itu, pemakaman Ki Secamenggala merupakan latar yang sangat integral karena menjadi pusat perbuatan dan kepercayaan para tokoh yang terlihat pada kutipan “Kubur ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka” (hal. 10) yang sekaligus menjadi latar sosial karena sebagai simbol pandangan hidup yang sangat mempercayai magis dari keramat Ki Secamenggala. Latar sosial pun sangat jelas tergambar dari tempe bongkrek yang merupakan cerminan dari kemiskinan.
            Kekuatan penggambaran latar tempat dan latar sosial desa yang terasingkan dari desa lain memiliki nilai tersendiri. Latar sosial pun terlihat dari eksistensi Srintil yang memiliki status sosial paling atas dalam masyarakatnya. Hal itu terlihat ketika laki-laki memiliki rasa kebanggaan dan kejantanan apabila dapat meniduri Srintil sehingga banyak perempuan yang bangga dan iri oleh kesuperioritasan Srintil. Akan tetapi, dalam lingkungan di luar dukuh paruk. Srintil diremehkan, dihina, dan dianggap sebagai wanita penghibur.
            Latar waktu, pada tahun 1946 karena pada tahun itu terjadinya peristiwa tempe bongkrek yang merupakan simbol keterpurukan, kelahiran srintil yang merupakan Ronggeng Dukuh Paruk, dan suasana Dukuh Paruk yang sedang carut-marut, semakin miskin, dan bodoh. Tahun 1960 karena pada saat itu keadaan desa dukuh paruk sedang memanas karena terjadinya perampokan di mana-mana dan politik yang kian memanas (PKI).  Selain itu pada tahun 1964 karena Srintil sebagai ronggeng meraih masa kejayaannya yang terlihat pada kutipan “Tidak seorang pun di Dukuh paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya” Latar waktu dalam novel ini adalah di malam hari karena pagelaran ronggeng identik dengan suasana malam.
4.      Alur
Alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.[7] Alur menurut waktu, terbagi menjadi dua, yaitu alur kronologis dan alur sebab-akibat. Dalam hal ini, secara umum, ronggeng dukuh paruk termasuk ke dalam alur kronologis karena ceritanya sangat berhubungan erat dengan peristiwa sejarah. Alur yang terdapat pada bagian “CatatanBuat Emak” termasuk ke dalam alur sorot balik karena bergerak mundur guna menceritakan mengenai malapetaka tempe bongkrek yang terjadi pada Dukuh paruk sehingga pembaca dapat mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi setelah itu, alur yang terlihat adalah alur lurus karena sangat terlihat perjalanan kehidupan seorang ronggeng. Yang terlihat pada kutipan “Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya” (hal. 90). Setelah itu maju ke tahun 1963 ketika Srintil terlibat dengan acara pementasan politik yang terlihat pada kutipan “Perayaan agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan kecamatan Dawuan” (hal. 180). Kemudian maju ke tahun 1964 ketika Srintil mencapai puncak ketenarannya yang terlihat pada kutipan “Tidak seorang pun di Dukuh paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan maju pada tahun 1970-1971 sebagai awal penceritaan tokoh Bajus.
Aminuddin (1984: 94) dalam buku Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto menyebutkan bahwa Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Sejalan dengan pemikiran tersebut, secara garis besar terdapat tiga tahapan plot, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.[8]
a.       Tahap Awal disebut juga tahap pengenalan. Dalam hal ini, tahap awal tergambar ketika memperkenalkan kondisi yang terjadi mengenai pedukuhan dukuh paruk melalui peristiwa tragis tempe bongkrek dan awal kisah tokoh Srintil yang akan menjadi seorang ronggeng dengan berbagai ritual yang dijalani;
b.      Tahap tengah, dimulai dengan pertikaian yang dialami tokoh, dalam tahap ini ada dua unsur penting yaitu konflik dan klimaks. Pertikaian pertama dialami tokoh Rasus terhadap dirinya sendiri ketika Rasus tidak dapat mengimajinasikan tokoh emak di dalam diri Srintil. Konfliknya adalah pertikaian antara Srintil dan Rasus. Srintil harus merana dan menangis akibat penolakan dan kepergian Rasus. Klimaks cerita ketika srintil terlibat oleh antek-antek komunis dan harus masuk ke dalam penjara dengan keluguannya. Puncak konflik terjadi ketika Srintil dikecewakan oleh Bajus yang menjual Srintil kepada Pak Blengur, dan tak disangka pertengkarannya dengan Srintil berakibat fatal. Singkat kata, Srintil menjadi terguncang jiwanya, ia tak percaya, bahwa Bajus tega menjual dirinya hanya demi uang, karena bentakan dan cacian Bajus, Srintil yang trauma akan seks dan PKI masa lalu, berubah total dan jiwanya pun terguncang. Hal ini terlihat pada kutipan Mengapa orang telanjur percaya bahwa pembunuhan ialah menghentikan fiungsi ragawi… Mengapa orang telanjur beranggapan kekejaman ialah tumpahnya darah dan lukanya bagian raga. Dalam dua tiga detik melalui beberapa kata dia (Bajus) telah berhasil sempurna membuat seorang manusia kehilangan kemanusiaannya, bahkan tanpa Bajus sendiri melihatnya”. (hal 374).
c.       Tahap akhir, dapat disebut juga sebagai tahap penyelesaian. Penyelesaian dalam cerita terjadi ketika Srintil berada dalam kekalahannya karena mengalami kegilaan. Kedatangan Rasus untuk menikahinya itu sepertinya telah memberikan kemenangan seorang ronggeng yang tersirat. Pada titik ini, sebuah perdamaian tanpa syarat dari tentara yang terkenal sangat anti komunis dengan Srintil sebagai mantan tahanan polisi komunis. Rasus dengan atau tanpa disadari telah memberontak dan keluar dari pakem yang seharusnya.
5.      Amanat
Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dan biasanya bersifat tersirat atau bermakna implisit. Penafsiran setiap pembaca berbeda-beda tentang apa amanat dari sebuah karya sastra.
“He, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis Dukuh Paruk. Dia marah karena menganggap kau memperlakukannya secara tidak senonoh” (hal. 85). Amanat yang ingin disampaikan kepada Ahmad Tohari melalui kutipan tersebut, terlihat jelas melalui penggambaran tokoh Rasus. Ahmad Tohari melakukan kritikan terhadap kampung halamannya yang tidak mengharamkan persundalan dan memperlihatkan perbedaan nilai moral antara masyarakat Dukuh Paruk dengan dunia di luar Dukuh Paruk.
6.      Sudut Pandang
Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam ceita atau pencerita diaan yang berada di luar cerita.[9] Ahmad Tohari menggunakan sudut pandang “Aku” sebagai pencerita dan “Aku” sebagai pelaku (Rasus). Sudut pandang aku sebagai tokoh cerita (Rasus) terlihat pada kutipan “Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula kita bisa kualat nanti,” jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otaku (hal. 67). Selain sebagai sudut pandang pelaku, kutipan itu menunjukan kekalahan Srintil yang ditolak oleh Rasus untuk berhubungan jasmani.
Sedangkan sudut pandang aku sebagai pencerita terlihat pada kutipan “Di kemudin hari aku diberitahu asam tembaga benar racun. Namun, sepanjang menyangkut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti berperan. Kesalahan harus ditimpakan kepada bakteria pseudomonas coccovenenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam peragian”. Kutipan itu menonjolkan Ahmad Tohari yang ikut berperan dalam cerita mengingat Ahmad Tohari pernah menjalani sedikit pendidikannya sebagai dokter, dan laiknya tidak mungkin seorang Rasus dapat menceritakan secara fasih mengenai jenis bakteri tersebut.
7.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dimaksud adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang merupakan suatu sarana sastra yang amat penting[10]. Gaya bercerita Ahmad tohari lancar, sederhana, dan lugas sejalan dengan gambaran watak para tokoh, gaya bercerita terasa begitu polos, tanpa pretensi, seperti orang-orang Dukuh Paruk yang menjalankan kehidupan apa adanya[11] karakteristik yang dominan dalam hampir seluruh karyanya adalah terletak pada gaya penulisan Ahmad Tohari yang sangat bernuansa alam. Selain menunjukan mengenai keakraban pengarang dengan alamnya, ia pun serasa sangat dekat dengan lingkungannya sampai-sampai ia sering menyebutkan nama-nama hewan sebagai penghuni alam yang sangat polos. Hal ini terlihat pada kutipan “Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas” (hal. 10),
Bahasa yang digunakan Ahmad tohari sangat komunikastif dan mampu memaparkan nilai moral dengan bahasa yang sederhana, mengalir lancar, dan mudah dipahami. Meskipun persoalan yang disodorkan dalam karya-karyanya serius. Akan tetapi, di tangannya persoalan serius itu dapat diungkapkan dengan ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca.

E.     Pandangan Tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng
Tradisi adalah kebudayaan, pengalaman, dan pengetahuan masa lalu yang diwarisi yang tersedia bagi penulis untuk dipelajari.[12] Ronggeng merupakan suatu budaya Indonesia yang sudah menjadi suatu tradisi. Tradisi tersebut menurut pandangan Y. B Mangunwijaya sangatlah lekat dengan mitos. Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi kehidupan manusia.
Tradisi ronggeng memiliki makna sosial dan spiritual. Dikatakan seperti itu dikarenakan mengandung nilai-nilai magis yang bersumber pada kesakralan makam Ki Secamenggala yang dianggap sebagai kiblat kebatinan mereka (hal. 10). Di dalam tradisi itu juga menyuarakan resistensi kaum perempuan melalui tokoh Srintil yang dilukiskan sebagai sesuatu yang sangat berharga. Srintil menyadari perannya sebagai ronggeng Dukuh Paruk yang harus mengampu naluri laki-laki. Dan hal itu dalam pandangan orang Dukuh Paruk merupakan keniscayaan yang tinggi dengan pandangan Srintil yang melihat laki-laki sebagai pihak yang bukan superior.
Begitu kuat pesona ronggeng bagi masyarakat Dukuh Paruk sampai-sampai perempuan atau para istri pun bukannya cemburu atau marah melihat suaminya bertayub dan menjamah Srintil melainkan justru bangga dengan perbuatan suaminya itu. Mereka bahkan berani menjual apa saja yang menjadi miliknya. Hal itu terlihat pada kutipan “Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. ”Jangan besar cakap,” kata yang lain. ”Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” ”Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.” ”Aku yang paling tahu tenaga suamiku, tahu?” Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.” (hlm. 38).
Senada dengan apa yang dirasakan para istri tersebut, dalam hal ini, Srintil memandang tradisi ronggeng merupakan tradisi yang sangat mendambakan sehingga ia sangat menginginkan menjadi ronggeng. Hal itu terlihat ketika Srintil sangat menikmati masa kecilnya dengan dibaluti tarian ronggeng dan srintil sangat senang apabila ada teman yang menontonnya meronggeng karena sejak awal srintil memang sudah sangat pintar meronggeng, hal itu tidak didapati dengan latihan. Akan tetapi keronggengan itu dianggap sebagai indang ki Secamenggala yang merasuk didirinya. Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya, indang adalah semacam wngsit yang dimuliakan di dunia peronggengan (hal. 13). Kesenangan Srintil meronggeng terlihat pada kutipan “Mulut Rasus dan kedua temannya pegal sudah. Namun Srintil terus melenggang dan melenggok. Alunan tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan” (hal. 13).
Tekad Srintil untuk menjadi ronggeng sudah bulat, apa yang dianjurkan dan disaratkan sebelum wisuda ronggeng ditelateninya dengan seksama. Agar sah menjadi ronggeng, Srintil harus mengalami tiga tahapan ritual ronggeng yang sudah sangat dipatuhi dalam peduhukan melalui dukun ronggeng yang menjadi kepercayaan kakeknya.
Pertama, Srintil diperkenalkan kepada warga dukuh paruk melalui pementasan ronggeng. Suatu malam, Srintil didandani seperti layaknya ronggeng dewasa. Nyai Kertareja telah meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Bukan main senang hati masyarakat Dukuh Paruk ketika mendengar akan ada pementasan ronggeng. Pada saat itu, Srintil menari dengan sangat mempesona karena Srintil sangat mematuhi ritual pertama itu dengan hati yang sangat mempercayai tradisi ronggeng. Hal itu terlihat pada kutipan “Di halaman rumah kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi dan tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk” (hal. 45).
Kedua, Acara selanjutnya yang harus ditempuh oleh seorang ronggeng adalah upacara pemandian. Srintil diarak dan dimandikan di makam leluhur masyarakat Dukuh Paruk, Ki Secamenggala yang makamnya dikeramatkan oleh warga Dukuh Paruk. Kemudian di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh (hal. 46).
Ketiga, Srintil harus mengikuti ritual bukak-klambu agar ia sempurna menjadi seorang ronggeng karena setelah melewati ritual ini, Srintil diperbolehkan mendapat bayaran atau saweran saat manggung. Bukak-klambu adalah semacam sayembara yang terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Itu satu hal besar yang menjadi dilema di hati Srintil. Srintil terlanjur terpaut pada Rasus. Srintil yakin ini bukan hal yang mudah bagi dirinya dan bagi perempuan-perempuan lain di luar sana. Keperawanan adalah mahkota seorang perempuan. Harta yang paling berharga bagi seorang perempuan. Akan tetapi, Srintil harus melewati ritual tersebut untuk benar-benar menjadi seorang ronggeng. Dukun Ronggeng pun telah mempersiapkan ritual bukak-klambu dengan persiapan yang matang.
Disisi lain, pandangan Rasus terhadap tradisi ronggeng bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh Srintil. Rasus mengingkari tradisi ronggeng dengan tidak menyukai Srintil sebagai ronggeng dan sangat mengharapkan Srintil tidak mau menempuh upacara bukak-klambu. Akan tetapi, Rasus tidak memiliki otoritas untuk menolak hukum keharusan itu (hal. 51). Dengan tidak disangka oleh Rasus, ternyata Srintil tidak mematuhi ritual bukak-klambu, tanpa sepengetahuan Kartareja dan Istrinya, Srintil memberikan keperawanannya kepada Rasus tanpa diiringi ritual sakral di kamar yang sudah ditentukan. Sebab, Srintil tiba-tiba dilihatnya berada dibelakang rumah dan meminta Rasus untuk menggaulinya. Ia lebih suka menyerahkan kegadisannyaa kepada Rasus daripada kepada kedua orang yang memuakan Srintil itu. Dalam hal ini Srintil telah melanggar kesakralan tradisi ronggeng.
Setelah kejadian itu, Rasus Merasa tidak dapat lagi berkompromi dengan nilai-nilai lama warisan para leluhurnya. Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman hidup yang lain. “Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan.” (hal. 106).
Pandangan Srintil terhadap ronggeng mulai bergeser ketika Srintil mencintai Rasus dan ingin menjalin kehidupan berumah tangga dengannya. Meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki. Srintil tak dapat melupakan Rasus. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Dikisahkan bahwa sejak rasus menolak tawaran, Srintil menelan kekecewaan yang amat mendalam. Pada saat itu, Srintil tidak mematuhi kodrat yang berlaku di dukuh paruk kalau seorang ronggeng tidak boleh mencintai laki-laki dan menolak untuk bertayub. Keberadaan Srintil pun mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik lelaki yang tidak disukainya.
Keharusan menjadi ronggeng mengubah jalan hidup dan hakikat keperempuanan Srintil. Menjadi ronggeng yang sesuai tradisi berarti menjadi wanita milik umum dan tak diijinkan jatuh cinta pada pria, terlebih menikah. Ia harus rela melayani setiap pria yang mau membayarnya. Akan tetapi, hal itu ditentang Srintil karena kenyataannya tidak semua laki-laki dapat meniduri Srintil walaupun laki-laki itu membawakan bayaran yang sangat menyilaukan. Hal itu dikarenakan Srintil yang amat mencintai Rasus dan ingin menikah dengannya. Dalam hal ini, Goder menjadi kekuatan perubahan mendasar dalam hidup Srintil. Seorang bayi lemah tak berdaya, justru jadi kekuatan dahsyat yang merubah kepahitan Srintil menjadi kebahagiaan. Figur Goder sang bayi tampil sebagai ketulusan, kepolosan, dan kesucian. Goder adalah harapan yang tidak diperoleh Srintil. Bayi Goder menjadi tali penyelamat untuk jiwanya yang sepi dan sumber harapannya untuk menemukan cinta Rasus kembali.
Penggeseran pandangan Srintil terhadap tradisi ronggeng semakin terlihat setelah Srintil ditahan dan merupakan kepunahan orientasi tradisi ronggeng. Nilai-nilai tradisi ronggeng yang pernah diagung-agungkan oleh Srintil ternyata dijungkirbalikan dengan begitu dahsyat. Tradisi ronggeng di dalam benak srintil punah bersama kepiluan jiwanya setelah Bajus menyakiti perasaannya dan mengingatkannya pada kekejaman PKI yang dirasakannya secara mendalam.
  1. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron dari Pendidikan Linguistik Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, dengan skripsi berjudul “Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk”. Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2). Figur tokoh Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis
Penelitian terhadap novel trilogi ronggeng dukuh paruk karya Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Monica Martaose dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010. Skripsi Sanata Dharma berjudul “Pandangan Positif pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk”. Kesimpulan penelitiannya yaitu: (1). unsur intrinsik dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat tema mengenai karakteristik tokoh Ahmad Tohari dalam karyanya. Latar dalam novel tersebut sangat memperlihatkan karakteristik Ahmad Tohari. (2). Latar belakang penciptaan novel Ronggeng Dukuh Paruk  yaitu pengarang ingin menunjukan situasi politik dan ekonomi sekitar tahun 1960-1965, (3). Tanggapan pembaca mengenai isi novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu mereka pada umumnya tertarik dengan cerita yang bagus mengenai kritik kondisi zaman orde baru.
G.    Simpulan
Haruslah dipahami bahwa sastra pada umumnya memiliki dua fungsi utama, yaitu dulce et utile yang berarti karya sastra haruslah menyenangkan dan bermanfaat. Dalam hal ini, novel trilogi ronggeng dukuh paruk mengandung ajaran moral dengan balutan budaya yang sudah menjadi tradisi. Dalam fungsinya, Novel ini memberikan kenikmtan daan kesenangan bagi pembacanya dan pembaca dapat mengambil manfaatnya tanpa ada kesan menggurui.
Bagi pendukuhan yang terpencil itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi oleh warga dukuh paruk. Akan tetapi, Srintil sebagai ronggeng memiliki pandangan negatif dari orang-orang di luar Dukuh Paruk yang memandang seorang ronggeng adalah wanita penghibur yang selalu melayani laki-laki. Dalam hal ini, Srintil telah menunjukan kewibaannya bahwa tidak semua ronggeng seperti apa yang sudah dikatakan warga Dawuan. Srintil sangat mempercayai tradisi ronggeng. Akan tetapi tidak berarti ia setuju sepenuhnya terhadap kultur dan budaya Jawa tersebut.
H.    Saran
Diharapkan, melalui karya sastra manusia dapat belajar dan mengambil faedah dari pesan yang disampaikan oleh pengarang. Dengan mempelajari novel secara mendalam, Kita dapat belajar untuk memahami sebuah tradisi beserta kehidupannya.






Pustaka Acuan
Mahayana, S Maman. Menggali makna Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin.
Marsudi, Rye Mardianto. 1985 Ronggeng Dukuh Paruk: Kekhilafan yang Benar. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada.
Semi, M Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Siswanto, Dr. Wahyudi. 2008 “Pengantar Teori Sastra” Jakarta: Grasindo.
Sumarjo, Yakob. 1983. Ronggeng Dukuh Paruk Novel Ahmad Tohari Jakarta: Pikiran rakyat. Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin.
Sumarjo, Yakob, dkk. 1986. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 2003 Ronggeng Dukuh Paruk Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yudiono, K. S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Zaidan, Abdul Rojak, dkk. 2007 “Kamus Istilah Sastra” Jakarta: Balai Pustaka.


[1] Abdul Rozak Zaidan, et al., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 136.
[2] M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa, 1988), hal. 35.
[3] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Ikapi, 2008), hal. 142.
[4] M. Atar Semi, op. cit., hal. 36.
[5] Ibid.
         [6] Jakob Soemarjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 76.
[7] M. Atar Semi, op. cit., hal. 43.
         [8] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hal. 42.
[9] Abdul Rozak Zaidan , et. al., op. cit.,  hlm. 194.
[10] M. Atar Semi, op. cit., hlm. 47
[11] Maman S Mahayana, Menggali makna trilogi ronggeng dukuh paruk (PDS H.B jassin).
[12] Abdul Rozak Zaidan, et al., op. cit., hal. 208.

1 komentar:

  1. INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT




    INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT




    INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

    BalasHapus